"DIET Sampah saat Ramadan." Topil yang disodorkan oleh Kompasiana ini cukup menggelitik.
Menafsirkan pengertian di KBBI secara bebas, diet adalah aturan makanan untuk tujuan kesehatan dan lainnya. Biasanya, diet diberikan atas petunjuk dokter. Diet adalah gaya hidup yang sehat.
Diet sampah? Hmmm ....
Mengaduk-aduk Google, saya memperoleh pemahaman bahwa istilah ini berkaitan dengan usaha mengurangi sampah. Upaya mengurangi penggunaan plastik dan menggunakan akal budi dalam memilah barang akan dibuang.
Diet sampah adalah melakukan aksi nyata dalam menjaga bumi dan seisinya. Sampah mencemari bumi. Timbunan sampah telah mengontaminasi tanah, air, bahkan udara.
Ramadan merupakan bulan untuk menahan nafsu. Sepatutnya kita yang berpuasa mampu menurunkan konsumsi, termasuk sampah dihasilkan.
Namun, pada kenyataannya tidak demikian. Timbunan sampah dari sisa makanan dan kemasan saat Ramadan justru tercatat naik 20% (Kementerian LHK).
Perlu upaya keras menurunkan volume sampah. Cara-cara lazim mengurangi sampah adalah dengan melakukan:
Reduce (mengurangi). Menahan jempol menggulir layar promo, demi mengurangi nafsu pembelian barang. Memilih produk dengan kemasan minimal atau kemasan ramah lingkungan.
Reuse (menggunakan kembali). Memanfaatkan lagi barang-barang yang sudah ada. Memperbaiki barang agar dapat digunakan kembali, daripada membuangnya langsung.
Recycle (mendaur ulang). Mendaur ulang barang, misanya menjadikannya sebagai hasil kerajinan.
Refuse (menolak). Menolak penggunaan barang sekali pakai: kantong kresek, sedotan plastik, kemasan plastik.
Rot (membusukkan). Mengompos atau mengolah sampah organik menjadi kompos.
Di rumah saya, jumlah hasil buangan domestik selama bulan Ramadan tidak berbeda dengan hari-hari lainnya. Tidak ada peningkatan timbunan sampah. Malahan, terjadi penurunan volume sampah.
Masuk akal, karena pada hari biasa makan tiga kali sehari. Sementara selama Ramadan menjadi dua kali sehari, dengan jumlah makanan disantap sama saja dibanding dengan sebelum-sebelumnya.
Ada penambahan, yaitu konsumsi kurma yang menghasilkan buangan berupa biji. Saya membeli kurma kiloan dengan membawa wadah sendiri di daerah Empang, Kota Bogor. Sepanjang tahun toko-toko di sana menjual kurma.
Meskipun takada penambahan sampah, diet sampah tetap dilakukan sebagaimana biasanya, yaitu dengan:
- Membawa tas belanja sendiri dan kantong kresek bekas saat berbelanja.
- Membawa botol minum ketika bepergian.
- Membawa wadah makanan saat membeli masakan matang.
- Memilah sampah: kaleng atau barang yang masih memiliki harga; plastik, kertas, kemasan tak terpakai; limbah organik untuk dipendam di halaman agar menjadi kompos alami.
Sesuai rencana, beberapa hari lalu saya membeli komposter mini dua tingkat. Dua ember ukuran 5liter ditumpuk. Ember bawah dilengkapi dengan kran. Di atasnya adalah ember berpipa dan dasarnya berlubang-lubang.
Bagaimana cara penggunaannya?Â
Akhir-akhir ini saya kerap mengunjungi YouTube mencari tutorial pengomposan. Bisa juga menanyakan caranya ke Kompasianer Tutut Setyorinie. Mbak Tutut, tulung-tulung ...!
Bagi saya, mengompos sampah organik merupakan hal baru dalam upaya melakukan diet sampah. Mengompos merupakan salah satu cara mengurangi sampah keluar dari rumah.
Pada saatnya, akan mengurangi beban petugas pengambilan sampah dari Dinas LH Kota Bogor. Membantu mengurangi volume sampah yang akan ditimbun.
Dengan menerapkan diet sampah, semoga saya mampu berkontribusi dalam mengurangi sampah.
Lebih jauh, turut menjaga kelestarian lingkungan dan menciptakan masa depan berkelanjutan. Diet sampah merupakan gaya hidup ramah lingkungan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI