KENDATI dengan sedikit garam dan tanpa micin, apa pun makanan terasa nikmat disantap, terutama ketika berbuka puasa dan makan sahur di bulan Ramadan.
Saat berbuka, air bening bersuhu ruang tanpa tambahan gula mengalir menyejukkan kerongkongan. Menyantap tiga butir kurma bermanfaat mengembalikan kebugaran tubuh.
Setelah itu barulah saya menyantap buah dipotong-potong. Atau, lebih dulu menunaikan salat Maghrib.
Kegiatan terakhir adalah makan hidangan utama, yang tidak berbeda dengan makanan sehari-hari. Nasi merah, sayur rebus atau kukus, tempe tahu atau ikan kukus. Hanya ada sedikit garam dan tidak memakai penyedap buatan.
Saya tidak anti makanan digoreng dan yang enak.
Selama Ramadan makan gorengan, kalau ada, sedikit. Ada makanan yang digoreng seperti daging goreng, kerupuk. Atau, bikin bakwan yang tentu saja dimatangkan di minyak sawit panas.
Sekali-kali membeli masakan matang dari warung penjual, atau dari penjual keliling. Dapat diduga, ada tumisan. Ada penggunaan penyedap buatan dalam pengolahannya
Sementara ini, tidak terpikirkan untuk makan di luar semisal memenuhi ajakan acara buka bersama. Tidak juga terbersit keinginan sengaja pergi ke tempat makan untuk berbuka. Saya tidak bakal mampu berebut untuk mendapatkan makanan.
Hidangan untuk sahur makanan yang biasa saya santap. Tidak ada tambahan Istimewa, tapi tetap terasa nikmat.
Bagi saya, cukup menikmati hidangan tersedia di rumah untuk berbuka dan makan sahur. Menikmati setiap suapan dan kunyahan dengan rasa syukur. Barangkali keadaan ini disebut dengan mindful eating. Mungkin, ya. Entahlah.