Namun, mana mau warga negeri dipersalahkan? Sebagai warga negeri, mereka merasa lebih mulia daripada alam beserta makhluk selain warga negeri itu sendiri. Mereka mempersalahkan alam sebagai penyebab kerusakan.
Arogansi itulah yang membuatku gundah. Mereka tidak mau dan tidak akan pernah mengakui bahwa salah ada di kepala dan pundak mereka. Dengan gampangnya mereka melempar kesalahan kepada aku yang tiada punya daya. Aku adalah tempat pembuangan akhir kesalahan. Hanya kepadaku kealpaan ditimpakan. Tiada yang lain selain aku.
Lihatlah tayangan televisi. Para menteri, banyak ahli, dan semua pengamat berbusa-busa mengatakan bahwa bencana terjadi karena kekeliruan yang aku buat.
Mereka sangat menyesalkan caraku bekerja. Kata mereka, aku terlalu berlebih-lebihan dalam bekerja, bersikap ekstrem, sehingga terjadi banjir bandang, longsor, genangan yang membenamkan berbagai daerah dari negeri ini.
Aku sedih mendengarnya. Luka berkepanjangan membawa kepada resah. Gundah. Demi meringankan gelisah, aku mengadu kepada langit yang mendadak murung setelah mendengarnya.
Aku sudah bekerja sesuai sop. S.O.P ya! Bukan sup masakan berkuah terbuat dari kaldu ayam atau daging sapi yang dimasak bersama bawang, merica, pala, dan garam. Bukan, melainkan standard operating procedure alias petunjuk operasional standar.
Aku sudah mengikuti tahap kegiatan yang ditetapkan dari atas sana. Takada secuil pun terlewat dari pengamatanku. Jadi, di mana salahku?
Mendung hitam berarak mendekati berusaha membesarkan hati. Dari balik awan paling gelap yang amat kelam, Gundala datang.
Dengan menggosok kedua telapak tangan, sang putra petir berkata lantang, "Ada yang mesti dibina? Atau dibinasakan? Perlu kirim petir ke mereka?"
Tanpa menunggu aba-aba, kilatan-kilatan listrik keluar dari tangannya, disertai bunyi guruh bergemuruh. Gundala Murka! Gundala mengamuk menembakkan rentetan petir.
Aku terkejut, tapi tiada hal yang dapat menghentikan langkah selain dirinya. Kilatan-kilatan listrik. Bunyi guruh bersahutan. Langit tambah murung dan kian gelap.