Mohon tunggu...
I Made Bram Sarjana
I Made Bram Sarjana Mohon Tunggu... Administrasi - Analis Kebijakan

Peminat pengetahuan dan berbagi pengetahuan.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Covid-19 dan Kebijakan Publik

27 Desember 2022   10:55 Diperbarui: 27 Desember 2022   11:23 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) telah menimbulkan dampak yang dahsyat terhadap kehidupan manusia. Selain mengakibatkan jatuhnya ratusan ribu korban jiwa, pandemi COVID-19 juga menyebabkan kelesuan perekonomian global. 

Berdasarkan data World Health Organization (WHO) hingga 29 Juni 2020, COVID-19 telah menjangkiti 216 negara dengan jumlah kasus terkonfirmasi sebanyak 9.962.193 dan meninggal 498.723. 

Di Indonesia berdasarkan Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 hingga 29 Juni 2020 jumlah kasus positif tercatat sebanyak 55.092, sembuh 23.800 dan meninggal 2.805. Pada saat yang sama, jumlah kasus positif COVID-19 di Bali telah mencapai 1.444 orang.

Dari sisi ekonomi, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada konferensi pers tanggal 16 Juni 2020 menjelaskan prospek perekonomian Indonesia dan dunia yang mengalami penurunan amat drastis sebagai dampak pandemi COVID-19. 

Berdasarkan data Bank Dunia, perekonomian global pada tahun 2019 tumbuh 2,9% namun akibat COVID-19 pada tahun 2020 diperkirakan akan turun drastis menjadi negatif 3,0%. Potret yang sama juga terjadi terhadap perekonomian Indonesia, yang pada kuartal pertama tahun 2020 tumbuh 3%, namun pada kuartal kedua tahun 2020 diperkirakan tumbuh negatif 3,1%.

Terdapat sejumlah faktor resiko yang akan mempengaruhi kinerja ekonomi pada kuartal ketiga yaitu apabila terjadi gelombang kedua COVID-19, ketegangan politik internasional seperti antara AS dan China, termasuk peningkatan suhu politik domestik dan kerusuhan sosial di AS akibat isu rasisme. Pertumbuhan ekonomi tahunan yang positif diestimasi baru akan terjadi pada tahun 2021 mendatang.

Negara-negara lain juga mengalami kondisi yang sama, seperti Amerika Serikat yang pada kuartal pertama tumbuh 0,2% namun pada kuartal kedua merosot tajam menjadi negatif 9,7%. 

Berbeda halnya dengan Tiongkok, yang pada kuartal pertama tumbuh negatif 6,8% selanjutnya pada kuartal kedua diperkirakan tumbuh 1,2%. Bali pada kuartal pertama tahun 2020 berdasarkan data BPS tercatat mengalami pertumbuhan negatif 1,14% dan menurut Bank Indonesia pada kuartal kedua diperkirakan akan tumbuh negatif antara 9,5 %-- 9,1%. 

Perkembangan selanjutnya pada kuartal ketiga tahun 2020 baik di tingkat global, nasional dan Bali nampaknya akan mengarah pada situasi yang kurang menguntungkan (resesi), apabila perekonomian tidak segera bergerak menuju arah yang positif.

Pola pertumbuhan ekonomi negara-negara tersebut dipengaruhi oleh kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah masing-masing dalam menghadapi pandemi COVID-19 khususnya pada aspek pengetatan dan pelonggaran aktivitas ekonomi. 

Pola ini misalnya dapat dilihat pada Tiongkok. Penyebaran virus corona yang telah terjadi sejak Desember 2019 membuat Tiongkok menempuh kebijakan lockdown di Wuhan. 

Kebijakan ketat ini nampaknya berkorelasi dengan pertumbuhan ekonomi yang negatif pada kuartal pertama tahun 2020. Seiring dengan kemampuan Tiongkok mengatasi COVID-19, maka pelonggaran aktivitas ekonomi telah dilakukan sehingga berimplikasi pada pertumbuhan ekonomi yang positif pada kuartal kedua.

Bercermin dari data tersebut terdapat pelajaran yang dapat dipetik para pembuat kebijakan dalam merumuskan kebijakannya mengatasi permasalahan akibat COVID-19. 

Yang pertama adalah bahwa pandemi COVID-19 tergolong wicked problem, yaitu permasalahan dengan tingkat kompleksitas yang amat tinggi, belum diketahui solusi yang pasti. Hingga saat ini belum diketahui bagaimana virus ini muncul dan obat apa yang efektif untuk menyembuhkan pasien COVID-19. Para peneliti di seluruh dunia tengah bekerja keras untuk dapat menemukan vaksin COVID-19 dan obatnya. 

Hal yang sejauh ini diketahui tentang COVID-19 adalah bahwa penularannya melalui medium air liur (droplet), penyebaran berlangsung amat cepat dan orang yang telah terinfeksi tidak selalu menunjukkan gejala. Kedua, COVID-19 telah membuat seluruh negara di dunia mengalami kesulitan sosial ekonomi.

Para pembuat kebijakan dihadapkan pada dilema antara pengetatan dan pelonggaran aktivitas ekonomi karena masing-masing pilihan akan menimbulkan resiko yang serius. 

Di satu sisi pengetatan diperlukan untuk mencegah meluasnya penyebaran COVID-19, namun di sisi lain pelonggaran juga diperlukan agar perekonomian dapat bergerak dan masyarakat tidak terjerumus ke dalam jurang kemiskinan.

Bali jelas mengalami situasi ini yang amat berat dan dilematis tersebut. Dengan industri pariwisata sebagai mesin penggerak ekonomi, pengetatan aktivitas masyarakat termasuk pariwisata telah menimbulkan stagnasi pada sektor pariwisata yang berpengaruh pada kelesuan sektor ekonomi lainnya. 

Ketika pada fase awal dampak langsung dirasakan oleh pekerja pariwisata, pada perkembangan berikutnya pekerja pada sektor lainnya, termasuk petani pun turut merasakan kelesuan ekonomi Bali. 

Kondisi ini disebabkan oleh menurunnya serapan industri pariwisata terhadap produk-produk pertanian serta turunnya daya beli masyarakat. Distribusi logistik barang-barang dari luar Bali juga dapat turut terganggu menyusul kebijakan penghentian pembiayaan rapid test terhadap pengemudi angkutan barang dari luar Bali sejak tanggal 18 Juni 2020.

Ketika para pengusaha barang bersedia melakukan rapid test secara mandiri kepada para pengemudinya, hal ini akan berimplikasi pada peningkatan biaya operasional, sehingga dapat menyebabkan terjadinya peningkatan harga barang-barang tersebut.   Dengan kondisi demikian langkah-langkah kebijakan bagaimana yang perlu menjadi perhatian para pembuat kebijakan dalam menghadapi pandemi COVID-19?

Sepanjang kasus penularan baru harian dalam jumlah besar masih tetap terjadi, pemerintah akan mengalami kesulitan untuk memutuskan dilakukannya pelonggaran untuk menggerakkan perekonomian. 

Di tingkat elit, Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 di tingkat provinsi dan kabupaten/kota yang dipimpin langsung oleh para kepala daerah perlu berkolaborasi semakin intensif dalam mensinergikan kebijakannya masing-masing untuk membendung penyebaran COVID-19. 

Pengawasan dan edukasi kepada masyarakat untuk melaksanakan protokol kesehatan harus semakin diperkuat. Informasi, data dan analisanya (evidence based policy) harus menjadi pedoman dalam memutuskan dilakukan kebijakan pengetatan atau pelonggaran. 

Apabila data menunjukkan bahwa diperlukan langkah yang lebih progresif untuk menekan penularan, misalnya melalui karantina pada wilayah tertentu, maka diperlukan keberanian untuk melakukan langkah yang tegas dan efektif. Tentu saja segala aspek yang menyertainya sudah harus dipersiapkan dengan matang sebelum kebijakan tersebut ditempuh. 

Di tingkat akar rumput, segala agenda kebijakan pemerintah harus pula dipahami dengan baik agar mendapatkan dukungan penuh masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya. 

Selanjutnya adalah pengelolaan anggaran sebagai salah satu instrumen kebijakan dalam menangani COVID-19. Di tengah-tengah keterbatasan fiskal, kebijakan APBD tahun 2020 mesti tetap berfokus pada upaya pemulihan kesehatan masyarakat dan pemulihan perekonomian daerah, baik pendapatan pemerintah daerah maupun masyarakat. 

Keterbatasan fiskal akan sangat membatasi ruang belanja daerah, sehingga seharusnya tidak ada kebijakan yang tidak terkait langsung dengan penanganan COVID-19. 

Hal ini perlu menjadi perhatian semua pihak mengingat dalam waktu dekat akan dilaksanakan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak pada 9 Desember 2020. Telah menjadi kelaziman bahwa menjelang pilkada, para calon petahana umumnya menempuh kebijakan anggaran yang populis untuk meraih dukungan. 

Integritas dan kepemimpinan efektif dalam menghadapi krisis kesehatan dan sosial ekonomi akibat COVID-19 sebenarnya sudah menjadi modal kampanye yang amat memadai bagi para calon petahana yang berkeinginan untuk berkompetisi kembali dalam pilkada serentak nanti. 

Pandemi COVID-19 telah mengubah kehidupan kita dan seharusnya juga memberikan banyak pelajaran baru. Agar dapat segera pulih dari krisis akibat COVID-19, kebijakan publik tidak dapat lagi ditempuh melalui pendekatan sebagaimana biasanya (business as usual) yang lebih cenderung pada kalkulasi politis daripada teknokratis. 

Menghadapi wicked problem seperti COVID-19, kebijakan publik sudah seharusnya turut diperkuat dengan pendekatan kebijakan berbasis bukti (evidence based policy) dan kepemimpinan yang efektif. 

Kebijakan publik tentu saja merupakan sebuah proses politik, namun dengan dukungan metode ilmiah dan kepemimpinan yang efektif, maka kebijakan publik akan semakin memperoleh legitimasinya di mata publik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun