Mohon tunggu...
Boydo Saragih
Boydo Saragih Mohon Tunggu... Pemerhati Hukum

Mahasiswa S1 Ilmu Hukum UNSRAT Manado, konsentrasi di bidang Hukum Pidana dan Hak Asasi Manusia.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Arah Generasi

15 September 2025   21:25 Diperbarui: 15 September 2025   21:25 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Balon Hitam Membawa Sebuah Spanduk Bertuliskan RIP Demokrasi (Foto: Istimewa)

Bangsa ini selalu berjalan di atas pijakan masa lalu dan masa kini. Arah generasi mendatang tidak mungkin dilepaskan dari apa yang kita alami hari ini. Setiap kebijakan, setiap keputusan politik, dan setiap praktik kekuasaan yang berlangsung, akan membentuk wajah Indonesia ke depan.

Dalam teori demokrasi, kekuasaan selalu dimaknai sebagai sesuatu yang harus dikendalikan. Demokrasi bukan hanya soal memilih pemimpin lewat pemilu, tetapi juga bagaimana kekuasaan itu dijalankan sesuai aturan. Di sinilah pentingnya prinsip separation of powers atau pemisahan kekuasaan, sebagaimana digagas Montesquieu, agar eksekutif, legislatif, dan yudikatif tidak saling mendominasi. George Jellinek bahkan menekankan bahwa kekuasaan negara seharusnya dijalankan dalam batas hukum, sehingga tidak berubah menjadi alat penindasan. Karena itu, hukum berfungsi bukan sekadar peraturan tertulis, tetapi pagar yang menjaga agar kekuasaan tidak merusak rakyatnya.

Namun, apa yang seharusnya terjadi seringkali berjarak dengan kenyataan. Publik menyaksikan bagaimana Mahkamah Konstitusi yang seharusnya berdiri tegak sebagai pengawal konstitusi malah terkesan diacak-acak demi kepentingan politik tertentu. Perubahan aturan batas usia calon presiden dan wakil presiden demi memberi jalan bagi pasangan tertentu, menjadi bukti bahwa benteng hukum bisa dilenturkan sesuai kehendak penguasa. Dari sini, kepercayaan masyarakat terhadap lembaga hukum pun terkikis.

Di ranah politik praktis, munculnya calon presiden dan wakil presiden yang berasal dari lingkaran kekuasaan menimbulkan perasaan bahwa demokrasi kita semakin jauh dari cita-cita awal. Nepotisme yang dulu dikritik di masa lalu, kini hadir kembali dengan wajah baru. Janji-janji populis seperti program makan bergizi gratis justru dinilai amburadul dalam pelaksanaan. Alih-alih memberi solusi nyata, kebijakan ini memperlihatkan betapa seringnya rakyat hanya dijadikan objek kampanye, bukan subjek yang diberdayakan.

Di sisi lain, DPR yang seharusnya menjadi lembaga pengawas justru kerap dianggap hanya menjadi stempel bagi kebijakan eksekutif. Hampir tidak ada representasi yang kuat dari kalangan kiri atau rakyat kecil. Hal ini membuat fungsi pengawasan melemah dan suara kritis dari masyarakat sulit menembus ruang parlemen. Padahal, tanpa pengawasan yang sehat, eksekutif akan semakin leluasa menggunakan kekuasaan sesuai kepentingannya.

Kondisi ini diperparah oleh dinamika global. Krisis pangan, ketegangan geopolitik, dan perubahan iklim menuntut generasi muda Indonesia bersiap menghadapi masa depan yang penuh tantangan. Namun di saat yang sama, energi bangsa justru terkuras pada persoalan politik dalam negeri yang tidak kunjung selesai.

Membaca masa lalu, menafsir masa kini

Jika kita menengok ke masa lalu, bangsa Indonesia tidak pernah kekurangan generasi yang cerdas, tangguh, dan berani membawa nama bangsa ke panggung dunia. Pada Konferensi Asia Afrika di Bandung tahun 1955, Presiden Soekarno mampu meletakkan Indonesia sebagai pelopor gerakan solidaritas bangsa-bangsa Asia dan Afrika untuk menolak kolonialisme. Gagasan itu menjadikan Indonesia bukan hanya penonton, tetapi aktor penting dalam percaturan politik dunia.

Tidak berhenti di sana, Indonesia juga turut menjadi pendiri ASEAN pada tahun 1967, sebuah organisasi kawasan yang hingga kini menjadi salah satu tonggak diplomasi regional. Di era Adam Malik sebagai Menteri Luar Negeri, Indonesia bahkan berani berdebat di panggung internasional, menunjukkan bahwa kita punya diplomat muda yang berwibawa, intelektual, dan mampu menyuarakan kepentingan bangsa. Semua ini adalah bukti bahwa sejarah Indonesia dipenuhi generasi yang tidak hanya berani, tetapi juga berpikir strategis.

Namun, pertanyaan besar muncul: mengapa hari ini generasi yang ditawarkan justru dipersonifikasikan pada sosok seperti Gibran? Seorang wakil presiden yang dalam pernyataannya sendiri mengaku tidak suka membaca. Padahal, membaca dan menalar adalah syarat mutlak bagi seorang pemimpin dalam memahami kompleksitas negara. Hal ini menimbulkan kesan bahwa standar kepemimpinan kita semakin rendah, lebih ditentukan oleh garis keturunan politik daripada kualitas intelektual.

Sejarah memberi pelajaran yang jelas. Di era Soeharto, pembangunan ekonomi memang berjalan, tetapi demokrasi diabaikan. Akibatnya, rezim itu runtuh pada 1998 karena tidak memiliki landasan partisipasi rakyat yang sehat. Tuntutan masyarakat kala itu bukan semata soal perbaikan ekonomi, tetapi lebih pada kebebasan politik dan demokrasi yang adil. Tidak heran, Pemilu 1999 diikuti oleh 43 partai politik, sebagai euforia masyarakat untuk menyalurkan aspirasi yang lama terpendam.

Ironisnya, setelah lebih dari dua dekade reformasi, justru muncul kesan bahwa kita sedang mengalami kemunduran, baik secara ekonomi maupun demokrasi. Ekonomi tidak lagi mampu menyejahterakan rakyat secara merata, sementara demokrasi terjebak dalam praktik transaksional. DPR yang seharusnya berisi orang-orang dengan kapasitas tinggi, kini justru diisi oleh figur populer, artis, atau mereka yang hanya bermodal wajah dan popularitas. Bukan sedikit pula yang melontarkan pernyataan kontroversial yang menyinggung perasaan rakyat.

Hal ini memperlihatkan gejala yang oleh ilmuwan politik disebut sebagai "oligarki demokratis" dimana demokrasi hanya tampak dari luar, tetapi kendali politik tetap berada pada segelintir elite. Kekuasaan tidak dijalankan dengan prinsip akuntabilitas, tetapi lebih pada kompromi kepentingan. Sejalan dengan pandangan Lord Acton bahwa "kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan absolut pasti korup," apa yang terjadi hari ini menunjukkan bahaya jika demokrasi tidak dijalankan dengan prinsip keseimbangan dan pengawasan.

Kekecewaan generasi muda terlihat jelas. Fenomena "kabur aja dulu" yang ramai di media sosial adalah ekspresi nyata bahwa banyak anak muda sudah kehilangan harapan pada negeri ini. Mereka lebih memilih merantau, mencari peluang di luar negeri, daripada memperjuangkan perubahan di tanah air. Bila tren ini dibiarkan, arah generasi Indonesia ke depan bisa semakin suram: kehilangan daya juang, kehilangan kepercayaan, dan kehilangan mimpi kolektif untuk membangun bangsa.

Padahal, seharusnya sejarah memberi inspirasi. Bahwa generasi muda Indonesia pernah menjadi pionir, pernah berani melawan, pernah mampu memimpin percaturan global. Pertanyaannya: apakah kita mau membiarkan generasi hari ini tumbuh dalam sikap apatis, atau justru menyalakan kembali semangat itu agar arah bangsa kembali menemukan jalannya?

Refleksi tentang Arah Generasi

Melihat ke depan, saya menyadari bahwa bangsa ini sedang menghadapi begitu banyak tantangan sistemik. Masalah korupsi, lemahnya penegakan hukum, demokrasi yang semakin kehilangan arah, hingga rapuhnya fondasi ekonomi yang mestinya menopang kesejahteraan rakyat, semua itu membentuk gambaran yang tidak ringan. Tidak jarang, kita merasa bangsa ini terjebak dalam lingkaran krisis yang tak kunjung usai.

Namun, sejarah bangsa ini selalu menunjukkan satu hal: Indonesia mampu menemukan jalannya sendiri. Setiap kali bangsa ini terpuruk, selalu ada kekuatan dari dalam masyarakat yang bangkit untuk memperbaiki keadaan. Dari masa perjuangan kemerdekaan, perlawanan terhadap rezim otoriter, hingga gelombang reformasi 1998, semua lahir dari energi rakyat yang percaya bahwa perubahan itu mungkin.

Maka biarlah keburukan yang hari ini bertumpu di Senayan, ketika parlemen seolah kehilangan fungsinya sebagai wakil rakyat, ketika ia lebih mirip lembaga stempel kebijakan eksekutif, dan ketika kepentingan rakyat kecil jarang benar-benar diperjuangkan pada akhirnya membusuk dengan sendirinya. Karena dari kebusukan itu, akan muncul tunas baru.

Tunas itu adalah generasi muda yang tidak lagi mau tunduk pada wajah lama politik yang penuh kompromi. Generasi yang belajar dari kesalahan masa lalu, yang mengerti bahwa demokrasi hanya bisa hidup bila rakyat benar-benar terlibat, dan yang menyadari bahwa kekuasaan harus dijalankan dengan tanggung jawab, sebagaimana diajarkan George Jellinek bahwa negara ada bukan untuk penguasa, melainkan untuk melayani kepentingan rakyat.

Refleksi saya sederhana: arah bangsa ini memang sedang berliku, tetapi jalan itu bukanlah jalan buntu. Justru dari kekecewaan, dari rasa marah, dari apatisme yang semakin besar, tersimpan kemungkinan lahirnya harapan baru. Seperti kata pepatah, biji yang jatuh ke tanah yang kering sekalipun tetap berusaha tumbuh. Demikian juga dengan bangsa ini, yang akan terus melahirkan generasi yang lebih sadar, lebih kritis, dan lebih siap mengambil tanggung jawab sejarahnya.

Masa depan Indonesia tidak akan selamanya ditentukan oleh elit yang sibuk menjaga kursi di Senayan, tetapi oleh mereka yang diam-diam sedang menyiapkan diri di ruang kelas, di kampus, di jalanan, bahkan di dunia digital untuk menjadi pemimpin baru. Itulah arah generasi yang saya bayangkan: generasi yang lahir bukan dari warisan politik dinasti, melainkan dari kesadaran sejarah, dari kecintaan pada rakyat, dan dari keberanian untuk bermimpi lebih besar bagi negeri ini.

Referensi

  • CNBC Indonesia. Bukti Perang Dunia 3 Sudah Meletus, Banyak Orang Tak Sadar. 13 September 2025. https://www.cnbcindonesia.com/news/20250913083311-4-666656/bukti-perang-dunia-3-sudah-meletus-banyak-orang-tak-sadar
  • Dien, Zukhrufa Ken Satya, and Linda Sunarti. "Suara yang terlupakan: memori kolektif para pendukung Konferensi Asia Afrika tahun 1955." Sejarah dan Budaya: Jurnal Sejarah, Budaya, dan Pengajarannya 18.1 (2024): 38-51.
  • Haris, Syamsuddin. Partai, pemilu, dan parlemen era reformasi. Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014.
  • Levi, Edward H. "Some aspects of separation of powers." Colum. L. Rev. 76 (1976): 371.
  • Silaban, Putri Sari Margaret Julianty, et al. "Menghadapi Ancaman Nasionalisme Disintegrasi Bangsa di Tengah Trend Kabur Aja Dulu." Jurnal Bintang Pendidikan Indonesia 3.2 (2025): 193-199.
  • Subandri, Rio. "Tinjauan yuridis putusan mahkamah konstitusi nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang persyaratan batas usia pencalonan presiden dan wakil presiden." Jaksa: Jurnal Kajian Ilmu Hukum Dan Politik 2.1 (2024): 135-153.
  • Zahra, Annisa, et al. "Teori Pemisahan Kekuasaan Trias Politica Dalam Pemikiran Filsafat Hukum Montesquieu." Praxis: Jurnal Filsafat Terapan 1.01 (2022).

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun