Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menimbang Arah Angin Politik di Balik Pemanggilan Yaqult dan Nadiem

9 Agustus 2025   07:00 Diperbarui: 9 Agustus 2025   06:15 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Yqult dan Nadiem. (Gambar dibuat dengan AI)

Pemanggilan Yaqut Cholil Qoumas dan Nadiem Makarim oleh Komisi Pemberantasan Korupsi awal Agustus 2025 ibarat denting lonceng di tengah lapangan politik yang sedang menata formasi baru. Dua nama ini bukan figur sembarangan. Yaqut adalah mantan Menteri Agama yang identik dengan narasi moderasi beragama, basis massa NU, dan hubungan dekat dengan lingkar politik tertentu. Nadiem adalah mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang menjadi ikon kebijakan Merdeka Belajar, sekaligus simbol masuknya darah segar sektor swasta digital ke birokrasi.

Bahwa keduanya kini harus duduk di kursi pemeriksaan KPK dalam kasus yang berbeda---kuota haji di satu sisi, proyek Google Cloud di sisi lain---menjadi semacam potret politik yang multi-tafsir. Di permukaan, ini tampak sebagai penegakan hukum biasa: KPK memanggil siapa saja yang relevan, tanpa memandang latar belakang atau era pemerintahan. Namun, di bawah permukaan, ada arus yang bisa dibaca sebagai manuver politik.

Kita tahu, transisi dari era Jokowi ke era Prabowo membawa serta kebutuhan untuk menata ulang peta kekuasaan. Dalam situasi seperti ini, ada dua kemungkinan. Pertama, kasus ini murni lahir dari temuan bukti, dan kebetulan saja menyentuh dua eks menteri Jokowi. Kedua, ini adalah bagian dari proses political signalling---pesan kepada elite lama bahwa tidak semua yang pernah memegang kekuasaan akan aman dari sorotan hukum.

Bila kemungkinan kedua yang terjadi, maka pemanggilan ini tidak hanya berbicara soal hukum, tetapi juga distribusi ulang modal politik. Yaqut, dengan jaringan kultural dan organisasionalnya, punya nilai tawar tinggi dalam politik berbasis massa Islam. Nadiem, dengan reputasi dan akses ke ekosistem teknologi, punya nilai tawar di ranah ekonomi digital. Menggoyang keduanya, entah sengaja atau tidak, berarti mengetuk pintu dua sumber daya politik yang sangat berbeda tapi sama-sama strategis.

Dalam sejarah politik kita, KPK sering kali berada di titik pertemuan antara hukum dan politik. Ketika figur besar dipanggil, narasinya hampir selalu bercabang: sebagian publik melihatnya sebagai bukti keberanian penegakan hukum, sebagian lain membacanya sebagai gerakan catur kekuasaan. Di sinilah spekulasi tumbuh subur. Apalagi jika diingat bahwa sejumlah menteri kabinet Jokowi sebelumnya---dari Juliari Batubara hingga Syahrul Yasin Limpo---berakhir di meja hijau dan penjara.

Apakah Yaqut dan Nadiem akan mengikuti jejak itu? Secara hukum, jawabannya belum tentu---status keduanya saat ini bahkan belum tersangka. Tapi secara politik, skenario itu punya efek gentar yang nyata. Pesannya sederhana: bahkan tokoh populer sekalipun tidak kebal dari proses hukum, dan di era pemerintahan baru, garis perlindungan bisa bergeser sewaktu-waktu.

Spekulasi politik juga tak lepas dari bagaimana media membingkai kasus ini. Pemanggilan keduanya dalam waktu yang hampir bersamaan membuat cerita ini terasa terorkestrasi. Publik melihatnya sebagai "paket" yang dikirim ke ruang opini: satu dari dunia politik keagamaan, satu dari dunia kebijakan pendidikan teknologi. Apakah ini kebetulan atau sinyal strategis? Jawabannya mungkin hanya segelintir orang di lingkar inti yang tahu, tapi dalam politik, persepsi sering kali lebih kuat daripada fakta.

Yang jelas, bagi kedua tokoh ini, pertarungan bukan hanya di ruang penyidikan KPK, tetapi juga di ruang publik. Reputasi mereka sedang diuji---bukan hanya oleh kebenaran hukum, tetapi juga oleh arus opini yang bisa membentuk narasi panjang tentang siapa mereka di mata sejarah politik Indonesia.

Mungkin inilah poin paling penting dari semua spekulasi: di negeri ini, proses hukum atas elite jarang berdiri sendiri. Ia selalu berjalan beriringan dengan kalkulasi politik, tarik-menarik kepentingan, dan kadang, permainan simbol yang jauh lebih besar daripada sekadar perkara di atas kertas BAP.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun