Sejarah memberi pelajaran yang jelas. Di era Soeharto, pembangunan ekonomi memang berjalan, tetapi demokrasi diabaikan. Akibatnya, rezim itu runtuh pada 1998 karena tidak memiliki landasan partisipasi rakyat yang sehat. Tuntutan masyarakat kala itu bukan semata soal perbaikan ekonomi, tetapi lebih pada kebebasan politik dan demokrasi yang adil. Tidak heran, Pemilu 1999 diikuti oleh 43 partai politik, sebagai euforia masyarakat untuk menyalurkan aspirasi yang lama terpendam.
Ironisnya, setelah lebih dari dua dekade reformasi, justru muncul kesan bahwa kita sedang mengalami kemunduran, baik secara ekonomi maupun demokrasi. Ekonomi tidak lagi mampu menyejahterakan rakyat secara merata, sementara demokrasi terjebak dalam praktik transaksional. DPR yang seharusnya berisi orang-orang dengan kapasitas tinggi, kini justru diisi oleh figur populer, artis, atau mereka yang hanya bermodal wajah dan popularitas. Bukan sedikit pula yang melontarkan pernyataan kontroversial yang menyinggung perasaan rakyat.
Hal ini memperlihatkan gejala yang oleh ilmuwan politik disebut sebagai "oligarki demokratis" dimana demokrasi hanya tampak dari luar, tetapi kendali politik tetap berada pada segelintir elite. Kekuasaan tidak dijalankan dengan prinsip akuntabilitas, tetapi lebih pada kompromi kepentingan. Sejalan dengan pandangan Lord Acton bahwa "kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan absolut pasti korup," apa yang terjadi hari ini menunjukkan bahaya jika demokrasi tidak dijalankan dengan prinsip keseimbangan dan pengawasan.
Kekecewaan generasi muda terlihat jelas. Fenomena "kabur aja dulu" yang ramai di media sosial adalah ekspresi nyata bahwa banyak anak muda sudah kehilangan harapan pada negeri ini. Mereka lebih memilih merantau, mencari peluang di luar negeri, daripada memperjuangkan perubahan di tanah air. Bila tren ini dibiarkan, arah generasi Indonesia ke depan bisa semakin suram: kehilangan daya juang, kehilangan kepercayaan, dan kehilangan mimpi kolektif untuk membangun bangsa.
Padahal, seharusnya sejarah memberi inspirasi. Bahwa generasi muda Indonesia pernah menjadi pionir, pernah berani melawan, pernah mampu memimpin percaturan global. Pertanyaannya: apakah kita mau membiarkan generasi hari ini tumbuh dalam sikap apatis, atau justru menyalakan kembali semangat itu agar arah bangsa kembali menemukan jalannya?
Refleksi tentang Arah Generasi
Melihat ke depan, saya menyadari bahwa bangsa ini sedang menghadapi begitu banyak tantangan sistemik. Masalah korupsi, lemahnya penegakan hukum, demokrasi yang semakin kehilangan arah, hingga rapuhnya fondasi ekonomi yang mestinya menopang kesejahteraan rakyat, semua itu membentuk gambaran yang tidak ringan. Tidak jarang, kita merasa bangsa ini terjebak dalam lingkaran krisis yang tak kunjung usai.
Namun, sejarah bangsa ini selalu menunjukkan satu hal: Indonesia mampu menemukan jalannya sendiri. Setiap kali bangsa ini terpuruk, selalu ada kekuatan dari dalam masyarakat yang bangkit untuk memperbaiki keadaan. Dari masa perjuangan kemerdekaan, perlawanan terhadap rezim otoriter, hingga gelombang reformasi 1998, semua lahir dari energi rakyat yang percaya bahwa perubahan itu mungkin.
Maka biarlah keburukan yang hari ini bertumpu di Senayan, ketika parlemen seolah kehilangan fungsinya sebagai wakil rakyat, ketika ia lebih mirip lembaga stempel kebijakan eksekutif, dan ketika kepentingan rakyat kecil jarang benar-benar diperjuangkan pada akhirnya membusuk dengan sendirinya. Karena dari kebusukan itu, akan muncul tunas baru.
Tunas itu adalah generasi muda yang tidak lagi mau tunduk pada wajah lama politik yang penuh kompromi. Generasi yang belajar dari kesalahan masa lalu, yang mengerti bahwa demokrasi hanya bisa hidup bila rakyat benar-benar terlibat, dan yang menyadari bahwa kekuasaan harus dijalankan dengan tanggung jawab, sebagaimana diajarkan George Jellinek bahwa negara ada bukan untuk penguasa, melainkan untuk melayani kepentingan rakyat.
Refleksi saya sederhana: arah bangsa ini memang sedang berliku, tetapi jalan itu bukanlah jalan buntu. Justru dari kekecewaan, dari rasa marah, dari apatisme yang semakin besar, tersimpan kemungkinan lahirnya harapan baru. Seperti kata pepatah, biji yang jatuh ke tanah yang kering sekalipun tetap berusaha tumbuh. Demikian juga dengan bangsa ini, yang akan terus melahirkan generasi yang lebih sadar, lebih kritis, dan lebih siap mengambil tanggung jawab sejarahnya.