"Entahlah, Ton. Aku belum pernah merasakan perasaan seperti ini sebelum kejadian itu. Dia membuatku penasaran. Suatu saat aku harus bisa menemukan dia lagi."
"Semoga saja, Son."
Tono menangkap isyarat semangat yang kuat pada kata-kata Sono. Suatu karakter dari sahabatnya yang dia kenal sejak kecil. Sono masih mencoba mengingat-ingat wejangan Kakeknya. Tiba-tiba Sono berdiri membuka matanya lebar-lebar dan wajahnya terlihat berseri-seri. Dia menoleh ke arah Tono.
"Ton, aku ingat sekarang kata-kata kakek tentang gangsingan ...."
"Gangsingan dapat berputar lama karena ada keseimbangan. Dan dengan berputar gangsingan akan berdengung. Kalau hidup kita punya keseimbangan antara jasmani dan rohani, maka hidup akan lebih berkualitas."
Â
"Kalau kita dapat mencapai keseimbangan jasmani dan rohani maka kita dapat menghilangkan kesombongan pada diri kita. Sehingga kita hidup selaras dengan alam," kata Sono.
"Selaras dengan alam ...? Berarti kita akan menyatu dengan alam? Jadi seandainya ada getaran atau gerakan walaupun pelan kita masih bisa merasakannya. Mungkin begitu, Son."
"Kurang lebih begitu, Ton. Tapi bukan menyatu dengan alam, lebih tepatnya seiring seirama ... sejalan dengan alam semesta ini. Â Dan dengan berputar cepat gangsingan dapat berdiri kokoh di atas tanah. Kita menjadi kuat dan mempunyai kualitas dalam hidup kita."
"Jadi kita hidup tidak sekedar hidup. Tidak hanya melihat secara lahir tapi juga merasakannya secara batin. Lahir batin, jasmani rohani ... seimbang. Mungkin begitu yang kakekmu maksudkan tentang mata batin, Son."
"Tapi itu sangat susah, Ton. Bukankah kesombongan itu melekat pada setiap jiwa manusia? Dan hanya jiwa-jiwa yang tenang yang dapat mencapai keseimbangan itu."