Mohon tunggu...
Masbom
Masbom Mohon Tunggu... Buruh - Suka cerita horor

Menulis tidaklah mudah tetapi bisa dimulai dengan bahasa yang sederhana

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Cerpen Gangsingan] Gangsingan Sebuah Filosofi

19 April 2019   07:04 Diperbarui: 19 April 2019   08:18 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mentari pagi menyinari bumi menyibakkan kabut dan menembus rimbunnya dedaunan. Sono terlihat keluar dari rumah menuntun sepedanya. Pagi itu dia libur sekolah dan akan pergi ke rumah Tono. Dia segera memacu sepedanya.

"Awass, Kek! Minggir ...!" teriak Sono.

Hampir saja Sono menabrak kakeknya yang sedang berolah raga pagi menikmati hangatnya sinar mentari. Kakek hanya geleng-geleng kepala menyaksikan ulah cucunya. Sono terus memacu sepedanya menyusuri jalan-jalan kampung menuju rumah Tono. Titik-titik peluh mulai terlihat di kening Sono meskipun udara masih terasa dingin.

Tiinggg ... tiiinnggg ....

Terdengar bunyi bel sepeda Sono ketika masuk ke halaman rumah Tono yang tidak begitu luas dan berpagar bambu. Sebuah rumah sederhana berbentuk limasan khas Jogja. Di sampingnya terlihat sumur timba dan bangunan kecil di belakangnya untuk kamar mandi terpisah dari rumah induk.

Sono langsung menuju belakang rumah. Sebagai sahabat sejak kecil, Sono sudah hafal kebiasaan Tono jika hari libur sekolah. Dilihatnya Tono sedang memberi makan hewan piaraannya. Beberapa ekor ayam dan itik di dalam kandang terletak di pojok belakang rumahnya.

"Ada apa, Son. Sepertinya terburu-buru datang ke sini?" tanya Tono ketika melihat Sono datang.

"Iya, Ton. Aku butuh bantuanmu. Ada sedikit masalah nih," kata Sono masih dengan napas memburu.

"Iya ... tapi sabar dulu, Son. Ingat pesan kakekmu, kamu harus berlatih sabar dan mengendalikan emosimu."

Sono tersenyum dan beberapa kali menarik nafas untuk mengatur iramanya setelah tadi memacu sepedanya menuju rumah Tono. Dia mencoba berdiri tenang di samping Tono dan ikut memberi makan hewan piaraannya. Tak lama kemudian Tono membuka pembicaraan.

"Hmm ... dengan Genk Butterfly? Kau bertemu dengan anak itu lagi, Son?"

"Tidak, Ton .... Memang sih aku pernah beberapa kali melihat rombongan Genk Butterfly. Waktu itu aku lagi nganter ibuku ke kota, mereka naik motor semua, aku lihat beberapa anak bertatto kupu-kupu. Tapi bukan itu masalahnya."

"Terus apa? Sepertinya penting sekali sampai pagi-pagi datang kesini."

"Kemarin malam aku dapat wejangan dari kakekku tentang mata batin ...."

Sono menjelaskan semua peristiwa yang dia alami bersama kakeknya.

(Baca di cerita sebelumnya : Pesan Yang Terlupa)

"Ooo ... Sepertinya beliau mau mengajarkan tentang pengendalian emosi padamu, Son. Kamu kan orangnya cepat emosi, meledak-ledak, tidak sabaran ...."

"Ha ha ha ... benar juga, Ton."

"Tapi sepertinya tidak hanya itu, Son. Kakekmu ingin agar kamu bisa mengendalikan mata batinmu untuk melengkapi ilmu silat yang telah beliau ajarkan padamu."

"Hmm ... mungkin juga. Siapa tahu kelak aku akan bertemu anak genk itu lagi aku dapat mengatasinya. Dia kan ngancam kita, Ton?"

"Kamu itu, Son. Inginnya berkelahi terus. Masih ingat pesan kakekmu? Sebisa mungkin menghindari perkelahian, kalau tidak sangat terpaksa dan posisi kita dalam bahaya."

"Hehehe ... jiwa muda, Ton."

"Hmm ... ya sudah, temani aku mancing, Son."

"Oke, aku siap!!!"

Meskipun memancing bukan kegemaran Sono, sesekali dia menemani sahabatnya itu. Sono dan Tono segera berangkat menuju sungai di belakang kampung mereka. Udara pagi yang sejuk dan bersih membuat mereka bersemangat mengayuh sepedanya. 

Dalam perjalanan seringkali mereka tersenyum sambil menganggukkan kepala atau menyapa orang-orang yang kebetulan lewat berpapasan. Itulah tata krama dan sopan santun yang masih melekat kuat dalam jiwa masyarakat di kampung maupun masyarakat Kota Jogja umumnya saat itu.

Roda terus berputar membawa sepeda mereka menyusuri jalan kampung di bawah rimbunnya pepohonan. Mereka menuju ke suatu tempat di mana Tono begitu betah duduk seharian menunggui alat pancingnya. Sebuah tempat berwujud batu besar dan tinggi letaknya di tepi sungai. 

Sementara di bawahnya aliran sungai itu begitu tenang dan banyak ikannya. Di tempat itulah Tono sering menghabiskan waktunya sepulang sekolah menyalurkan hobi memancingnya. Karakter Tono yang tenang dan sabar memang pas dengan hobinya. Suatu karakter yang bertolak belakang dengan sahabatnya.

Sssrrrttt ... pluukkk ....

Bunyi anak pancing Tono melayang dan jatuh di dalam sungai. Tono menoleh memperhatikan Sono yang sedang mempersiapkan alat pancingnya. Mereka saling tersenyum dan Tono mengangguk pertanda agar Sono mengikuti caranya.

Ssrrrttt ... plaaakkk ....

Terdengar bunyi anak kail Sono yang tidak sampai masuk sungai tetapi hanya mengenai dinding batu besar tempat mereka berpijak. Sono mencoba lagi mengulanginya beberapa kali tetapi masih belum berhasil juga.

Tono kembali tersenyum melihatnya. "Mungkin ini pelajaran pertama untuk mata batinmu Son. Berusaha keras meskipun memancing bukan hobimu."

"Hhhh ... benar juga," kata Sono sambil sekuat tenaga melempar anak pancingnya.

Ssrrrtttt ... pluukk ....

Kali ini Sono berhasil. Dia pun tersenyum lega kemudian mengambil posisi duduk agak jauh dari Tono. Sejenak mereka saling diam menunggu umpan pancingnya di makan ikan. Pikiran Sono kembali teringat pada wejangan kakeknya yang belum dia pahami sepenuhnya tadi malam. Matanya menatap tajam ke arah sungai di bawah batu tempat duduknya.

"Ton, apa hubungan mata batin dengan gangsingan seperti yang telah dikatakan kakek?"

"Hmm ... entahlah Son, gangsingan itu berputar dan berdengung ... Coba kau ingat-ingat lagi wejangan-wejangan kakekmu itu," jawab Tono sambil menoleh ke arah Sono.

Sono terlihat mengerutkan dahinya pertanda sedang berpikir keras mengingat-ingat wejangan kakeknya.

"Hmm ... gangsingan ... Putri. Cuma itu yang bisa kuingat, Ton."

Sono dan Tono tertawa, teringat kejadian waktu di arena Pasar Malam Perayaan Sekaten Alun-Alun Utara dulu.

(Ceritanya ada di sini : Perkenalan Singkat)

"Kau suka sama Putri, Son? Sayangnya kita tidak sempat menanyakan alamat rumahnya."

"Entahlah, Ton. Aku belum pernah merasakan perasaan seperti ini sebelum kejadian itu. Dia membuatku penasaran. Suatu saat aku harus bisa menemukan dia lagi."

"Semoga saja, Son."

Tono menangkap isyarat semangat yang kuat pada kata-kata Sono. Suatu karakter dari sahabatnya yang dia kenal sejak kecil. Sono masih mencoba mengingat-ingat wejangan Kakeknya. Tiba-tiba Sono berdiri membuka matanya lebar-lebar dan wajahnya terlihat berseri-seri. Dia menoleh ke arah Tono.

"Ton, aku ingat sekarang kata-kata kakek tentang gangsingan ...."

"Gangsingan dapat berputar lama karena ada keseimbangan. Dan dengan berputar gangsingan akan berdengung. Kalau hidup kita punya keseimbangan antara jasmani dan rohani, maka hidup akan lebih berkualitas."

 

"Kalau kita dapat mencapai keseimbangan jasmani dan rohani maka kita dapat menghilangkan kesombongan pada diri kita. Sehingga kita hidup selaras dengan alam," kata Sono.

"Selaras dengan alam ...? Berarti kita akan menyatu dengan alam? Jadi seandainya ada getaran atau gerakan walaupun pelan kita masih bisa merasakannya. Mungkin begitu, Son."

"Kurang lebih begitu, Ton. Tapi bukan menyatu dengan alam, lebih tepatnya seiring seirama ... sejalan dengan alam semesta ini.  Dan dengan berputar cepat gangsingan dapat berdiri kokoh di atas tanah. Kita menjadi kuat dan mempunyai kualitas dalam hidup kita."

"Jadi kita hidup tidak sekedar hidup. Tidak hanya melihat secara lahir tapi juga merasakannya secara batin. Lahir batin, jasmani rohani ... seimbang. Mungkin begitu yang kakekmu maksudkan tentang mata batin, Son."

"Tapi itu sangat susah, Ton. Bukankah kesombongan itu melekat pada setiap jiwa manusia? Dan hanya jiwa-jiwa yang tenang yang dapat mencapai keseimbangan itu."

Itulah falsafah gangsingan, permainan tradisional masyarakat Jawa ... Jogja khususnya, tentang hidup seimbang selaras dengan alam menuju kesempurnaan hidup manusia, yang diajarkan kakek pada kedua remaja tanggung, Sono dan Tono.

Hidup tidak hanya sekedar materi tapi juga spiritual. Jiwa muda walau penuh gejolak dan keras tetapi harus tetap terlihat tenang menunjukkan kualitasnya. Begitulah harapan kakek pada cucunya, Sono.

Tak terasa mentari telah naik tinggi dan dengan seenaknya melepaskan pucuk-pucuk sinarnya menembus rimbunnya dedaunan di tepi sungai serta terasa menyengat kulit. Sudah tengah hari ... tapi Sono belum memperoleh seekor ikan pun.

"Ton, tidak seekor ikan pun memakan umpanku. Mungkin dengan cara lain aku bisa memperolehnya."

Sono mengambil sebuah batu, dia perhatikan seekor ikan yang berenang di permukaan air sungai. Dengan cepat dan kuat Sono melempar batu tepat mengenai kepala ikan tersebut.

Plaakkk ....

Ikan itu menggelepar di permukaan air. Cepat-cepat Sono mengambilnya dengan sebuah jaring. Tono tersenyum melihat tingkah sahabatnya.

Setiap orang akan menempuh jalan hidupnya sendiri-sendiri dan dengan cara mereka sendiri. Tono dengan caranya sendiri begitu juga Sono akan menempuh dengan caranya sendiri. Walaupun tujuannya sama yaitu mencapai kesempurnaan hidup.

Sang mentari sudah berjalan ke arah barat menuju peraduannya. Sono dan Tono memutuskan untuk pulang ke rumah masing-masing dengan perasaan lega. Mereka berhasil memecahkan sebagian pelajaran dari kakek. Dapatkah mereka berdua menerapkan dalam perjalanan hidupnya?

Solo.19.04.2019

Bomowica

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun