"Hehehe ... jiwa muda, Ton."
"Hmm ... ya sudah, temani aku mancing, Son."
"Oke, aku siap!!!"
Meskipun memancing bukan kegemaran Sono, sesekali dia menemani sahabatnya itu. Sono dan Tono segera berangkat menuju sungai di belakang kampung mereka. Udara pagi yang sejuk dan bersih membuat mereka bersemangat mengayuh sepedanya.Â
Dalam perjalanan seringkali mereka tersenyum sambil menganggukkan kepala atau menyapa orang-orang yang kebetulan lewat berpapasan. Itulah tata krama dan sopan santun yang masih melekat kuat dalam jiwa masyarakat di kampung maupun masyarakat Kota Jogja umumnya saat itu.
Roda terus berputar membawa sepeda mereka menyusuri jalan kampung di bawah rimbunnya pepohonan. Mereka menuju ke suatu tempat di mana Tono begitu betah duduk seharian menunggui alat pancingnya. Sebuah tempat berwujud batu besar dan tinggi letaknya di tepi sungai.Â
Sementara di bawahnya aliran sungai itu begitu tenang dan banyak ikannya. Di tempat itulah Tono sering menghabiskan waktunya sepulang sekolah menyalurkan hobi memancingnya. Karakter Tono yang tenang dan sabar memang pas dengan hobinya. Suatu karakter yang bertolak belakang dengan sahabatnya.
Sssrrrttt ... pluukkk ....
Bunyi anak pancing Tono melayang dan jatuh di dalam sungai. Tono menoleh memperhatikan Sono yang sedang mempersiapkan alat pancingnya. Mereka saling tersenyum dan Tono mengangguk pertanda agar Sono mengikuti caranya.
Ssrrrttt ... plaaakkk ....
Terdengar bunyi anak kail Sono yang tidak sampai masuk sungai tetapi hanya mengenai dinding batu besar tempat mereka berpijak. Sono mencoba lagi mengulanginya beberapa kali tetapi masih belum berhasil juga.