Mohon tunggu...
Masbom
Masbom Mohon Tunggu... Buruh - Suka cerita horor

Menulis tidaklah mudah tetapi bisa dimulai dengan bahasa yang sederhana

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Cerpen Jogja 1990] Awal Mula Perselisihan

15 November 2018   11:55 Diperbarui: 9 April 2019   00:07 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pixabay.com

Sementara itu Tono masih berada di stand pakaian ....


Tono begitu tertarik dengan kaos bergambar tokoh wayang Bima kesukaannya. Setelah tawar-menawar Tono akhirnya membeli kaos tersebut.
Bergegas dia keluar dari tempat itu dan berjalan menghampiri Sono yang sedang asyik melihat-lihat gangsingan. Tanpa sengaja pandangan matanya melihat di bagian lain ada sedikit keributan. Seorang Ibu terjatuh di antara kerumunan orang di sana. Kemudian terlihat dua anak remaja sebayanya berlari dari kerumunan menuju jalan ke arahnya.


"Ada apa itu? Jangan-jangan dia ...."


Dengan cepat ke dua anak itu lari melewati Tono. Uppss ... untung saja Tono berhasil menghindar dengan mundur sedikit ke belakang. Ke dua anak itu lari tanpa memperhatikan suasana jalan sekitarnya.


Dan ... bruukk!!!


Salah seorang remaja itu menubruk Sono yang baru saja melangkah meninggalkan penjual gangsingan. Sono terdorong beberapa langkah. Dengan sigap dia mengatur langkah agar tidak terjatuh. Tetapi tidak dengan anak itu. Dia terdorong ke belakang dan jatuh. Ada yang terlepas dari genggaman anak itu.


Dompet ... ya, dompet! Cepat-cepat anak itu mengambil kembali dompet yang terjatuh dan dimasukkan kantong saku celananya. Benar kecurigaan Tono yang menyaksikan kejadian itu. Anak itu telah mencopet dompet ibu yang terjatuh di sana. Sono menatap tajam ke dua anak yang baru saja menabraknya.


"Hati-hati kalau jalan!!!" seru Sono.


Anak itu berdiri dan berjalan mendekati Sono. Dia menatap Sono dengan wajah marah.


"Apa katamu?" bentak anak itu.


"Hei ... kamu lagi!!!" seru Sono begitu melihat wajahnya.


Sono teringat tadi ketika sepedanya ditabrak oleh anak itu. Anak itu pun terkejut. Dan tanpa alasan apa pun tiba-tiba dia melayangkan pukulan ke arah wajah Sono sambil berseru, "Diam kau!"


Sono sedikit menarik tubuhnya ke belakang. Tangan kirinya menangkis pukulan itu dan membalasnya.


Buukk ....


Pukulan tangan kosong Sono tepat mengenai perut anak itu. Anak itu terdorong ke belakang dan terjatuh lagi.


"Hei ada apa ini? Kau yang salah, malah kau yang memukulku!" kata Sono keheranan.


Dengan sigap temannya datang dan membantu anak itu berdiri. Mereka berdua kemudian bergerak maju menyerang Sono bersama-sama. Pukulan dan tendangan bertubi-tubi dilayangkan oleh ke dua anak itu tetapi berhasil ditangkis oleh Sono. Sono berusaha mengatasi serangan demi serangan lawannya dengan ilmu bela diri yang diajarkan oleh kakeknya.


Sono sedikit berada di atas angin. Sesekali pukulan dan tendangan Sono mengenai muka dan perut lawannya walau belum bisa menjatuhkannya. Dia begitu lincah meliuk-liukkan tubuhnya menghindari pukulan dan tendangan ke dua anak itu sambil menangkis dan membalasnya kembali.


"Hentikan! Aku ndak punya masalah denganmu. Kenapa kalian menyerangku?"


Sono mencoba menghentikan perkelahian itu. Tetapi mereka tidak menghiraukan kata-kata Sono dan terus saja melancarkan serangannya. Ke dua lawan juga begitu tangguh dan berusaha untuk mengalahkan Sono. Tetapi berkali-kali serangan lawan dapat dimentahkan oleh Sono. Merasa belum bisa menjatuhkan Sono, ke dua anak itu semakin emosi dan menyerang dengan membabi buta.


Dua lawan satu! Sono sedikit kewalahan, sebuah tendangan samping hampir saja mengenai kepalanya. Dengan sigap Sono menangkis dengan tangan kirinya.


Daakk ...!


Sono sedikit terhuyung ke belakang dan menahan sakit pada lengan kirinya. Salah satu lawan tidak menyia-nyiakan kesempatan ini dan bergerak maju bersiap menyerang Sono yang sedikit limbung. Pukulan dan tendangan anak itu berkali-kali mengenai tubuhnya. Sono berusaha melindungi bagian kepala dengan ke dua tangannya.


"Dua anak itu semakin nekat dan bernafsu untuk menjatuhkanku. Aku harus keluar dari jarak jangkau serangan mereka kalau ndak ingin kehabisan nafasku."


Sono mulai terdesak dan tidak ada kesempatan untuk menghindar ataupun melakukan serangan balasan.


"Kau ...! Aku akan menghabisimu di sini!" kata salah satu anak itu sambil terus melancarkan pukulan dan tendangan bertubi-tubi ke tubuh Sono.


Perkelahian menjadi  tidak seimbang. Tono yang sejak awal mengamati perkelahian tersebut segera berlari membantu sahabatnya. Dia mengambil posisi di samping Sono. Tono yang berperawakan lebih besar dari Sono secepat kilat melayangkan pukulan ke arah teman anak itu.


"Rasakan pukulan bimaku!"


Duaakk ...!


Tepat mengenai mukanya. Anak itu sedikit terdorong ke belakang dan menghentikan serangannya. Mengetahui sahabatnya membantu, semangat Sono semakin membara. Darah mudanya kembali mendidih bergelora. Sementara Tono tetap tenang menghadapi lawannya.


"Sekarang satu lawan satu. Ayo maju kalian!!!" teriak Sono.


"Hei ...!? Belum tahu kalian berhadapan dengan siapa?"


Salah satu lawan menjawab tantangan Sono dengan pertanyaan. Sono tertegun sejenak. Dia baru menyadari bahwa lawan yang sedang di hadapannya mungkin saja anggota salah satu genk yang cukup di segani di Kota Jogja ini.


"Memangnya siapa kalian ...?" tanya Tono.


Tidak ada jawaban. Mereka hanya saling bertatap mata. Tajam. Masing-masing sudah bersiap-siap dengan serangan selanjutnya. Salah seorang anak tersebut perlahan-lahan menyingsingkan lengan bajunya. Terlihat sebuah tatto bergambar kupu-kupu.


"Ton, mereka anak-anak Butterfly, genk paling disegani di Kota Jogja."


Tono teringat pada anak muda yang menabrak sepeda Sono saat menuju ke alun-alun tadi.


"Dia anak muda yang tadi menabrakmu, Son?"


"Benar, Ton. Dia mau cari masalah lagi."


"Hati-hati, Son! Jangan gegabah kalau tidak ingin masalah ini jadi panjang urusannya. Kita ulur waktu saja sambil menunggu petugas keamanan datang," kata Tono mengingatkan sahabatnya.


"Tapi, Ton ... tanganku sudah gatal ingin menjatuhkan mereka!"


"Ingat pesan kakekmu, Son. Kendalikan emosi dan tetap tenang. Semua bisa diselesaikan dengan kepala dingin."


Setelah memperlihatkan siapa mereka sebenarnya, segera ke dua anak genk tersebut menyerang Sono dan Tono. Salah seorang anak genk itu berlari cepat dan meloncat sambil mengarahkan tendangan kakinya ke Sono. Sono mundur beberapa langkah untuk menghindarinya. Serangan itu disusul dengan pukulan bertubi-tubi ke arah wajah dan perut Sono. Sono berhasil menangkis dan membalasnya dengan sebuah tendangan depan kaki kanannya.


Duaakk ....


Tepat mengenai dada anak genk tersebut dan terhuyung-huyung ke belakang. Sementara Tono mendapat serangan sebuah tendangan samping ke arah kepalanya. Dia memutar pinggangnya ke kanan condong ke bawah sementara tangan kirinya menangkis serangan itu. Tetapi sebuah serangan pukulan tangan kiri tiba-tiba melayang ke arah dagu Tono. Segera dia menarik kaki kirinya jauh ke belakang menghindari pukulan itu dan membentuk posisi kuda-kuda bawah. Ke dua tangannya berhasil menangkap tangan anak genk itu dan dengan cepat menariknya.

Kemudian dengan separuh tenaga Tono mendorong tubuh anak genk itu ke depan. Anak itu jatuh terjerembab ke tanah. Tapi ke dua anak itu tidak jera bahkan bersiap lagi untuk serangan berikutnya. Pukulan dan tendangan mereka lancarkan bertubi-tubi, tapi dapat dimentahkan dengan mudah oleh Sono dan Tono.


Frustrasi!!!


Mungkin itu yang dirasakan oleh ke dua anak Genk Butterfly. Mereka merasa gengsinya jatuh jika tidak bisa mengalahkan lawan mereka. Akhirnya dengan emosi memuncak mereka berdua mencabut senjata tajam dari balik bajunya. Keributan ini memancing pengunjung Sekaten untuk melihatnya. Ada sebagian pengunjung yang mencoba untuk menghentikan perkelahian itu. Tetapi begitu ke dua anak genk mencabut senjata tajam, mereka tidak berani mendekat. Mereka khawatir terjadi apa-apa pada ke dua remaja lawannya. Sono dan Tono terkejut melihat kenekatan anak Genk Butterfly.


"Apa boleh buat, Son. Kita jatuhkan mereka. Usahakan sekali pukul dan jangan terlalu melukai mereka," kata Tono mengambil inisiatif.


"Oke, baik. Aku siap!!!"


Ke dua anak genk itu kemudian menyerang Sono dan Tono menggunakan senjata tajamnya. Sabetan dan tusukan belati itu berkali-kali berkelebat mengarah ke tubuh Sono dan Tono. Dengan penuh perhitungan mereka mencoba menghindar dari serangan tersebut dan sesekali melancarkan serangan balasan. Serangan senjata tajam beradu dengan tendangan dan pukulan tangan kosong. Ke dua sahabat ini menunjukkan kemampuan bela dirinya.


Salah seorang anak genk terlihat mengayunkan senjatanya ke arah dada Tono. Tono menangkis keras serangan itu dengan tangan kirinya hingga senjata anak itu terpental ke udara. Secepat kilat Tono melancarkan serangan balik dengan pukulan bimanya.


Duaakk ....


Tepat mengenai dagu anak itu. Dia terhuyung ke belakang dan tersungkur ke tanah. Sementara itu Sono mendapat serangan senjata tajam ke arah perutnya.


Plaakk ....


Sono berhasil menangkap tangan anak itu. Dia mengangkat dan memelintirnya hingga senjata itu terlepas jatuh ke tanah. Dengan masih memegang tangan anak itu segera Sono membalas dengan tendangan ke arah perut.


Buukk ....


Anak itu terpental dan jatuh terduduk di tanah juga. Melihat ke dua anak genk tersebut tersungkur ke tanah, pengunjung Sekaten baru berani mendekat dan memisahkan mereka. Datang juga seorang Ibu dan anak gadisnya bersama petugas keamanan Sekaten.


"Ke dua anak itu baru saja mencopet dompet saya," kata Ibu itu menunjuk ke dua anak genk yang masih terduduk di tanah sambil menahan sakit di tubuhnya.


Petugas keamanan segera memeriksa dan menemukan beberapa dompet di saku ke dua anak genk tersebut. Rupanya mereka sering mencopet di arena Sekaten ini. Dibantu beberapa pengunjung, petugas keamanan Sekaten membawa mereka ke pos pemeriksaan.


Mereka berjalan melewati Sono dan Tono dalam jarak yang cukup dekat. Sejenak mereka berhenti dan saling beradu pandang. Anak itu menatap tajam pada Sono dan Tono secara bergantian. Pandangannya berhenti dan memperhatikan sebuah kalung yang melingkar pada leher Sono. Kalung dengan bandul dari kulit berwarna hitam dan bertuliskan dua huruf kapital BM berwarna kuning.


"Awas! Urusan kita belum selesai. Kita akan bertemu lagi. Mati kau berdua!" kata salah seorang anak genk mengancam Sono dan Tono.


"Kita lihat saja!" kata Sono masih dengan emosinya.


Sementara Tono hanya bisa menepuk-nepuk pundak sahabatnya untuk meredakan emosinya.

(bersambung)

Solo.15.11.2018

~Bomowica~

Cerita sebelumnya [Jogja 1990] :

1. Dua Sahabat.

2. Remaja Bertatto

3. Perayaan Sekaten

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun