Mohon tunggu...
Masbom
Masbom Mohon Tunggu... Buruh - Suka cerita horor

Menulis tidaklah mudah tetapi bisa dimulai dengan bahasa yang sederhana

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Cerpen Jogja 1990] Perayaan Sekaten

17 Oktober 2018   08:19 Diperbarui: 19 Januari 2019   05:37 480
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Langit jingga menghiasi cakrawala di atas kota Jogja. Cuaca senja saat itu cerah bertabur bintang, sehingga banyak orang datang berkunjung ke Pasar Malam Perayaan Sekaten ini. Mereka memanfaatkan malam liburan untuk sekedar jalan-jalan atau ingin membeli sesuatu yang khas dari Pasar Malam Perayaan Sekaten ini. Maklum Perayaan Sekaten untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW atau maulud nabi ini hanya diadakan setahun sekali pada Bulan Rabiul Awal dalam kalender Islam atau Bulan Mulud dalam kalender Jawa.


Semakin sore semakin terdengar suara bising di area Sekaten Alun-Alun Utara ini. Suara musik, suara orang menjajakan makanan, suara genset dan deru mesin-mesin permainan anak-anak, bahkan tangisan seorang bocah yang minta di belikan sesuatu. Ada banyak stand di sana. Ada stand makanan dan minuman, stand pakaian, stand produksi, stand pameran, permainan, dan masih banyak lagi.


Pasar malam ini sudah berlangsung satu bulan lamanya dan malam itu bertepatan dengan hari H-nya malam perayaan Maulud Nabi. Malam puncak acara Sekaten ini ditandai dengan dikeluarkannya dua perangkat gamelan pusaka dari Keraton Jogja menuju komplek halaman Masjid Agung yang terletak bersebelahan dengan Alun-Alun Utara dan akan ditabuh selama tujuh hari tujuh malam. Dua gamelan pusaka itu diberi nama Kiai Guntur Madu dan Kiai Nogo Wilogo.


Keesokan harinya di gelar acara Gerebeg Maulud oleh Keraton Kasultanan Jogjakarta. Gerebeg Maulud berupa tujuh buah 'gunungan' yang merupakan simbol kemakmuran Keraton Jogja. Gunungan adalah makanan dalam jumlah besar dari berbagai hasil bumi yang disusun mengerucut menyerupai sebuah gunung. Gunungan itu nantinya akan di'arak' dari keraton menuju halaman Masjid Agung. Setelah didoakan, ke tujuh gunungan tersebut dibagikan atau diperebutkan oleh masyarakat umum.


Setelah terobati rasa hausnya, dua sahabat, Sono dan Tono keluar dari angkringan menuju pintu masuk Sekaten. Pada malam itu mereka dan para pengunjung Sekaten lainnya tidak diharuskan membeli tiket masuk. Karena pada puncak acara Sekaten pengunjung bebas keluar masuk area Sekaten tanpa dipungut biaya. Mereka berjalan santai menikmati keramaian Alun-Alun Utara malam itu dan sesekali berhenti di suatu stand untuk melihat barang-barang yang dijual.


"Pinten niki, Pak?" tanya Tono sambil menunjuk patung kecil berkarakter Petruk, salah satu tokoh wayang punakawan.


"Seket ewu, Nak," kata penjualnya.


"Wah ... larang banget. Sepuluh ribu boleh, Pak?"


Tono mencoba menawar. Tapi penjual hanya menggelengkan kepala tanda tidak setuju. Mereka terus berjalan berkeliling keluar masuk stand yang ada. Terkadang harus berdesak-desakan karena banyaknya pengunjung di Pasar Malam Sekaten itu.


"Awas dompet!" kata Sono mengingatkan sahabatnya. Tono pun tersenyum dan mengangguk.


Stand pakaian paling mendominasi di Pasar Malam Sekaten ini dan banyak dikunjungi oleh anak muda remaja sebayanya. Berbagai macam kaos dengan aneka gambar dan tulisan ditawarkan di sana. Merasa sebagai anak remaja Sono dan Tono ikut masuk ke stand pakaian tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun