Mohon tunggu...
Ruang Berbagi
Ruang Berbagi Mohon Tunggu... Dosen - 🌱

Menulis untuk berbagi pada yang memerlukan. Bersyukur atas dua juta tayangan di Kompasiana karena sahabat semua :)

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Tidak Punya Gaji Tetap dan Rekening Bank Itu Ternyata Unik

13 Oktober 2020   11:16 Diperbarui: 14 Oktober 2020   15:08 3062
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi tak punya gaji dan rekening bank - pexels.com

Di zaman kiwari nan modern ini, sepertinya aneh bahwa ada orang-orang yang tidak punya gaji dan rekening bank. Bukan karena tidak mampu, lho. Ada kalangan dan insan tertentu yang memang tidak mau dan "tidak diperbolehkan" menerima gaji dan memiliki rekening bank pribadi.

Nah, bagaimana rasanya jadi orang yang tidak punya gaji tetap dan tidak juga punya rekening bank pribadi? Ini kisah nyata dari salah satu pelakunya. Saya sendiri ^_^.

Sebelum menuju menu utama, saya merasa perlu membuat semacam senarai kalangan yang tidak mempunyai rekening bank pribadi, meski secara ekonomi cukup mampu.

Pertama, banyak orang di pelosok negeri.

Sewaktu saya bertugas di Kalimantan Utara beberapa tahun lalu, saya bergaul dengan banyak sekali warga biasa di pelosok negeri kita ini. Tidak berarti bahwa semua adalah golongan ekonomi lemah.

Ada para pencari kayu gaharu yang jika berangkat ke hutan harus punya modal jutaan rupiah. Selama berbulan-bulan mereka menjelajahi hutan lebat untuk menemukan gaharu yang harganya mahal sekali karena langka. Konon, gaharu adalah resin kayu wangi yang dihasilkan dari dahan yang terkena jamur dan akhirnya membatu.

Banyak warga di pelosok negeri ini masih menggunakan uang tunai saja. Mereka ini tidak pernah sekalipun menginjak lantai licin bank. 

Kedua, sebagian pelaku kejahatan dan (mantan) narapidana;

Ketiga, sebagian pelajar dan pekerja sektor informal;

Keempat, kaum gaptek; Kelima, pensiunan yang tinggal menikmati hidup saja; 

Keenam, orang mampu yang memang ingin hidup sederhana.

Pernah jumpa seorang berpakaian biasa saja, yang sedang memotong rumput di halaman rumah seorang hartawan? Hati-hati, jangan mengira dia adalah tukang kebun. Bisa jadi, dia adalah si bos besar!

Ketujuh, orang yang mengikrarkan kaul keagamaan

Menurut KBBI V, kaul adalah "janji yang diikrarkan teguh-teguh". Dalam aneka kelompok keagamaan di dunia ini, ada banyak kaum biarawan-biarawati yang mengikrarkan sejumlah kaul.

Misalnya, kaul kemurnian (bertarak dari hubungan seksual dan perkawinan); kaul ketaatan (patuh pada pimpinan); dan kaul kemiskinan atau kesederhanaan hidup.

Saya menyoroti kaul terakhir, yakni kaul kemiskinan. Biksu lazimnya hidup bersahaja. Mengandalkan kemurahan hati umat Buddha.

kesederhanaan biksu - pexels.com
kesederhanaan biksu - pexels.com
Saya sebagai biarawan Katolik pun mengikrarkan kaul-kaul, termasuk kaul kemiskinan. Kaul ini adalah tanda penyerahan diri seutuhnya pada Tuhan demi pelayanan pada sesama yang paling memerlukan bantuan.

Dalam sejarah kekatolikan, ada cukup banyak orang kudus yang sungguh menjual warisan keluarga dan menggunakan hasilnya untuk membantu orang miskin. 

Contoh yang paling tenar adalah Santo Fransiskus dari Assisi. Anak pedagang kain di Italia itu bahkan menanggalkan pakaian mahalnya dan memilih hidup sederhana sebagai biarawan.

vocazionefrancescana.org
vocazionefrancescana.org
Biarawan dan biarawati Katolik tidak memiliki harta pribadi, juga biasanya tidak memiliki rekening pribadi. Kecuali demi kepentingan tertentu yang mendesak dengan sepengetahuan pimpinan.

Tak Punya Rekening Bank Itu Unik

Apakah mungkin di zaman ini orang hidup tanpa gaji tetap dan tanpa rekening bank (dan baik-baik saja)? Pengalaman saya membuktikan, ada keunikan saat saya tidak punya rekening bank pribadi.

Pertama, sederhana itu indah dan membahagiakan.

Saya menerima uang saku bulanan untuk membeli keperluan pribadi. Adapun makan dan biaya kesehatan ditanggung oleh kongregasi/tarekat tempat saya bernaung. Ini juga berasal dari kemurahan hati jemaat.

Di Indonesia, setahu saya beberapa tarekat menetapkan bahwa uang saku biarawan-biarawati tidak boleh melebihi sepertiga gaji seorang pekerja biasa di daerah tersebut. Praktiknya, uang saku yang diterima umumnya tidak besar.

Di tempat pendidikan, lebih ketat lagi. Dulu uang saku kami cuma 25 ribu. Terakhir sebelum selesai pendidikan, naik jadi 50 ribu. Ini masih lumayan. Sejumlah biarawan-biarawati tidak rutin menerima uang saku. Jika perlu sesuatu, baru meminta pada pimpinan setempat.

Sebelum membeli sesuatu yang mahal dan pergi liburan berongkos mahal, seorang biarawan/biarawati harus izin dahulu ke pimpinan dengan pertama-tama mengadakan permenungan pribadi.

"Apakah barang itu perlu untuk menunjang pelayanan? Apakah harus merek itu? Apa harus menghabiskan dana sebanyak itu?"

Semua pendapatan saya yang terkait karya, masuk ke rekening bank bersama. Dari rekening bersama ini, saya mendapat uang saku bulanan dan jaminan hidup yang wajar.

Bagi saya, hidup sederhana itu indah. Bisa merasa cukup dengan apa yang ada itu bahagia. 

Kedua, sederhana itu kadang merepotkan juga.

Kadang saya alami kesulitan karena gaya hidup sederhana, tanpa gaji tetap dan tanpa rekening bank pribadi. Umpama, ingin membeli barang tertentu, tapi sedang "kanker" (kantong kering) karena uang saku terbatas. Ya harus bersabar menabung dulu agar bisa membeli barang.

Juga sedikit repot kala harus membeli barang secara daring. Kadang harus meminta tolong saudara atau sahabat yang punya rekening bank.

Dulu saya juga pernah malu gegara buta soal bank. Waktu itu saya harus mengirim uang donasi lewat bank. Saya waktu itu bingung bagaimana cara mengisi slip setoran. Satpam sampai datang untuk membantu saya. Wah, malu juga dilihat orang banyak.

Mungkin sang bapak satpam berkata dalam hatinya, "Ini orang cakep tapi kok bodo, sih." Hehe...itu pun cuma hoaks. Selain pandir, saya juga tidak ganteng seperti oppa Korea. :)

Ketiga, sederhana itu tidak bikin pusing.

Justru karena tidak bergaji bulanan dan tidak punya rekening, saya tidak pusing. Tidak terlalu takut dengan penjahat. Kalau dicopet, paling kehilangan dompet butut.

Seorang yang tak punya rekening bank tak perlu cemas soal PIN, kartu tertelan mesin ATM, sms dan email penipuan, dan segala urusan dengan bank.

Ia bisa menjalani hidup tanpa memikirkan aneka kecemasan yang biasa dialami para pemilik rekening bank.

Wasana Kata

Kisah ini hanyalah ilustrasi sederhana tentang adanya pribadi-pribadi yang "terasing" namun tak pusing di zaman serba digital ini. Saya pernah menulis kisah lain bertajuk "Diam-diam Kita Dipaksa Punya Ponsel". Sila klik saja.

Kalau disuruh memilih antara punya rekening bank atau tidak, saya sepertinya akan menjawab: "Tergantung jumlah uang di dalamnya, Bos!"

Hehehe...Enggak, ah. Tanpa rekening, aku tak pening. Cukup uang untuk beli kuota dan celana agar bisa nulis di Kompasiana dengan nyaman dan santun. Yey! 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun