Mohon tunggu...
Riduannor
Riduannor Mohon Tunggu... Penulis

Citizen Journalism

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

One in Million Moment: Momen Nekat yang Ubah Hidupku Jadi Guru

9 September 2025   11:24 Diperbarui: 11 September 2025   16:04 393
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi One in Million Moment: Momen Nekat yang Ubah Hidupku Jadi Guru diolah menggunakan Canva | Dokumen pribadi

Kerja keras tuh udah bagian hidup aku dari dulu. Tenaga, keringat, semua dikeluarin. Setiap hari nyangkul—kadang bantuin bertani, kadang ngurus kebun—biasanya sepulang sekolah atau pas libur. Enggak ada istilah rebahan kalau udah urusan ladang.

Malamnya? Enggak kalah sibuk. Aku jaga ayam potong di pondok, soalnya bapak juga sambil pelihara ayam. Lokasinya lumayan jauh dari rumah, berada dipinggiran hutan. Jadi setiap malam aku harus jalan ke sana dan tidur di pondok, tengah malam bangun, kontrol kandang ayam potong biar ayamnya enggak diganggu binatang liar—ular, tikus, dan lainnya. 

Aku percaya banget, hidup susah tuh berubah asal kita punya niat dan enggak males buat usaha. setiap kesulitan pasti ada jalan keluarnya, cuma kadang kita harus sabar nunggu waktunya. Yang penting tetap bersyukur, tetap jalanin, dan jangan nyerah. Tuhan enggak tidur—kalau kita serius, pasti ada aja kemudahan yang datang.

Momen Nekat dan Yakin

Modal nekat dan keyakinan, dari sinilah momen"one in a million" itu lahir—momen yang nggak akan pernah aku lupakan seumur hidup.

Awalnya cuma guru honorer selama enam bulan. Mulai dari ikut bantu jadi pembina pramuka, di ajak oleh teman guru di sekolah itu, eh tiba-tiba di panggil kepala sekolah. Aku diminta ngajar bahasa inggris. Nggak lama, saya mulai pegang kelas sendiri, karena memang linear dengan ijazah yaitu: Guru Kelas SD.

Singkatnya, aku ikut seleksi CPNS di daerah berau, ambil formasi guru di wilayah transmigrasi. Waktu itu, jujur aja, wawasan aku soal daerah transmigrasi tuh minim banget. Soalnya dulu belum segampang sekarang buat cari info digital—aksesnya terbatas, referensi juga nggak sebanyak sekarang.

Tapi karena niat dan tekad udah bulat, aku tetap jalanin aja. Nggak banyak mikir, yang penting coba dulu. Kadang, langkah nekat itu justru jadi awal dari cerita besar.

Waktu ikut seleksi CPNS di daerah Berau, aku harus berangkat langsung ke sana, soalnya lokasi tes sesuai sama daerah yang kita pilih. Semua dokumen juga harus disesuaikan sama tempat penyelenggara tes.

Akses ke sana cuma lewat laut atau udara. Lewat darat belum ada sama sekali. Kalau mau naik pesawat, pilihannya terbatas banget, masih pakai pesawat perintis pula. Jadi satu-satunya cara yang murah dan masuk akal ya naik kapal laut.

Itu jadi pengalaman pertama aku naik kapal penumpang dari kayu. Tiket yang dibeliin teman itu tiket ekonomi, jadi aku nggak dapat tempat tidur. Akhirnya tidur di emperan kapal, beralaskan tas dan jaket seadanya. Rasanya campur aduk—antara capek, deg-degan, tapi juga penuh harapan.

Akhirnya, nyampe juga di Tanjung Redeb, Berau. Kota kecil yang tenang, ada di pinggir Sungai Segah. Kapal kayu yang aku tumpangi berlabuh di pelabuhan teratai. Transportasinya masih sederhana banget—becak jadi andalan. Ada sih mobil taksi, tapi bisa dihitung jari. Jadi, kebanyakan orang naik becak buat keliling kota.

Selama nunggu jadwal tes CPNS, aku numpang nginap di rumah teman kuliah. Dia tinggal di rumah dinas yang nyatu sama area SMP tempat kakaknya mengajar di sekolah tersebut. Lumayan banget, bisa istirahat seadanya, di ruang tamu yang sempit sambil nyiapin mental buat tes.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun