Mohon tunggu...
Riduannor
Riduannor Mohon Tunggu... Penulis

Menjadi penulis adalah menjadi saksi: terhadap diri sendiri, terhadap orang lain, dan terhadap sejarah yang terus bergerak.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Kenangan di Balik Jendela

22 Februari 2025   20:41 Diperbarui: 22 Februari 2025   20:41 313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Cerpen Kenangan di Balik Jendela ( Sumber gambar : destyariesandyda/Akun Dest_a di Pinterest)

Matahari sore menyelinap masuk melalui celah jendela kamar tua itu. Cahaya keemasan memantul di kaca yang mulai berdebu, menciptakan pola-pola abstrak di lantai kayu yang berderit setiap kali diinjak. Di balik jendela, pohon jambu yang dulu rindang kini tinggal ranting-ranting kering yang menggantung seperti kenangan yang enggan pergi.

Di kursi goyang dekat jendela, duduk seorang wanita bernama Sinta. Rambutnya telah memutih, namun matanya masih menyimpan binar yang sama seperti dulu - Saat ia pertama kali jatuh cinta pada Ardi, pria yang sering melintas di depan rumahnya hanya untuk melambaikan tangan. 

Setiap sore, Sinta menanti di balik jendela, berharap melihat sosok Ardi kembali, meski ia tahu itu mustahil. Ardi telah pergi lima tahun lalu, meninggalkannya dengan segenggam kenangan yang bersemi setiap sudut rumah ini.

"Masih suka menunggu?" suara lembut terdengar dari belakang. Itu Rina, putri semata wayangnya.

Sinta tersenyum samar, matanya tetap tertuju ke luar jendela. "Dulu, jendela itu adalah saksi bisu cinta kami, Nak. Dari sini, Ibu melihat senyumnya, bahkan saat ia tak berkata apa-apa."

***

Rina duduk di samping Ibunya, menggenggam tangan yang mulai keriput. "Ibu enggak harus terus-terusan menyimpan rasa sakit ini sendirian."

Sinta menghela napas pelan. "Ini bukan rasa sakit, Rina. Ini cinta yang belum selesai.

Senja semakin merambat, langit berwarna orange kemerahan seperti lukisan. Sinta menutup matanya, membiarkan angin sore mengelus pipinya. Dalam hening, ia hampir bisa merasakan kehadiran Ardi - berdiri di bawah pohon jambu, tersenyum, dan melambai seperti dulu.

Di balik jendela itu, kenangan terus hidup, mengisi ruang kosong di hati Sinta. Dan meski waktu terus berjalan, cinta yang tersimpan di sana akan tetap abadi, seiring dengan detik-detik yang bergulir.

***

Malam mulai merayap perlahan. Sinta masih duduk di kursi goyangnya, sementara Rina membawakan secangkir teh hangat dan meletakkannya di meja kecil dekat jendela. Aroma melati samar-samar menguar, mengisi ruang yang terasa sepi.

"Ibu enggak capek duduk di sini terus?" tanya Rina pelan, khawatir. Ia mengelus punggung Ibunya dengan lembut.

Sinta menggeleng pelan. "Disini, Ibu merasa dekat sama Ayahmu, Nak. Seolah-olah kalau Ibu menunggu cukup lama, dia akan muncul lagi." Suaranya bergetar, tapi ada kelembutan yang tulus dalam setiap kata yang terucap.

Rina menatap ke luar jendela, memandangi pohon jambu yang tinggal dahan-dahan tua. Ia ingat betapa sering ayahnya memanjat pohon itu, memetik buah untuk dimakan bersama-sama. Kenangan masa kecilnya masih segar: suara tawa, aroma buah matang, dan hangatnya kebersamaan. Namun, semua itu kini tinggal bayang-bayang masa lalu.

"Ibu, kita bisa menanam pohon jambu baru kalau Ibu mau," ucap Rina menghidupkan harapan kecil.

Sinta tersenyum samar. "Pohon itu ditanam Ayahmu saat kamu baru menikah. Katanya, pohon itu simbol cinta kami. Kalau daunnya tumbuh subur, artinya cinta kami sehat. Dan kalau berbunga, artinya kami sedang bahagia."

Rina terdiam, hatinya nyeri mendengar cerita itu. Ia paham betapa dalamnya cinta Ibunya pada sosok ayah yang tela tiada. Tapi, ia juga takut Ibunya terjebak dalam masa lalu yang terus menghantui.

***

Beberapa hari kemudian, Rina diam-diam membeli bibit pohon jambu. Ia menanamnya di halaman belakang, persis di tempat pohon lama dulu berdiri. Ia berharap pohon baru ini bisa menjadi simbol harapan, tempat Ibunya menanam kenangan baru, tanpa melupakan yang lama.

Suatu sore, saat sinar matahari menyentuh dedaunan muda, Sinta memperhatikan pohon kecil itu dari balik jendela. Ada rasa hangat yang menjalar di dadanya, seolah-olah Ardi tersenyum dari kejauhan.

"Ibu enggak marah aku tanam pohon baru?" tanya Rina hati-hati.

Sinta menggeleng sambil mengusap pipinya yang basah. "Tidak, Nak. Ini Indah. Seperti cinta Ayahmu yang hidup kembali."

Hari demi hari berlalu. Sinta mulai keluar rumah lebih sering, merawat pohon itu dengan telaten. Ia berbicara padanya, seakan sedang bercakap dengan Ardi. Setiap kali daun baru tumbuh, ia tersenyum; dan saat tunas pertama muncul, ia menangis bahagia.

Di balik jendela yang dulu hanya menjadi saksi luka dan rindu, kini terpancar cahaya harapan. Sinta akhirnya mengerti bahwa mencintai seseorang yang telah pergi bukan berarti berhenti hidup. Cinta sejati adalah ketika kenangan menguatkan langkah, bukan mengikat diri pada masa lalu.

Dan saat pohon jambu itu berbunga untuk pertama kalinya, Sinta berdiri tegak di bawahnya, menutup matanya, dan berbisik lembut ke langit senja :

"Terima kasih, Ardi. Aku akan terus mencintaimu, selamanya."

Sementara itu, di balik jendela, bayangan dua sosok - Sinta dan Ardi - tampak berdiri berdampingan, meski hanya dalam kenangan yang abadi. (*)

Samarinda, 22 Februari 2025
Penulis : Riduannor

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun