***
Malam mulai merayap perlahan. Sinta masih duduk di kursi goyangnya, sementara Rina membawakan secangkir teh hangat dan meletakkannya di meja kecil dekat jendela. Aroma melati samar-samar menguar, mengisi ruang yang terasa sepi.
"Ibu enggak capek duduk di sini terus?" tanya Rina pelan, khawatir. Ia mengelus punggung Ibunya dengan lembut.
Sinta menggeleng pelan. "Disini, Ibu merasa dekat sama Ayahmu, Nak. Seolah-olah kalau Ibu menunggu cukup lama, dia akan muncul lagi." Suaranya bergetar, tapi ada kelembutan yang tulus dalam setiap kata yang terucap.
Rina menatap ke luar jendela, memandangi pohon jambu yang tinggal dahan-dahan tua. Ia ingat betapa sering ayahnya memanjat pohon itu, memetik buah untuk dimakan bersama-sama. Kenangan masa kecilnya masih segar: suara tawa, aroma buah matang, dan hangatnya kebersamaan. Namun, semua itu kini tinggal bayang-bayang masa lalu.
"Ibu, kita bisa menanam pohon jambu baru kalau Ibu mau," ucap Rina menghidupkan harapan kecil.
Sinta tersenyum samar. "Pohon itu ditanam Ayahmu saat kamu baru menikah. Katanya, pohon itu simbol cinta kami. Kalau daunnya tumbuh subur, artinya cinta kami sehat. Dan kalau berbunga, artinya kami sedang bahagia."
Rina terdiam, hatinya nyeri mendengar cerita itu. Ia paham betapa dalamnya cinta Ibunya pada sosok ayah yang tela tiada. Tapi, ia juga takut Ibunya terjebak dalam masa lalu yang terus menghantui.
***
Beberapa hari kemudian, Rina diam-diam membeli bibit pohon jambu. Ia menanamnya di halaman belakang, persis di tempat pohon lama dulu berdiri. Ia berharap pohon baru ini bisa menjadi simbol harapan, tempat Ibunya menanam kenangan baru, tanpa melupakan yang lama.
Suatu sore, saat sinar matahari menyentuh dedaunan muda, Sinta memperhatikan pohon kecil itu dari balik jendela. Ada rasa hangat yang menjalar di dadanya, seolah-olah Ardi tersenyum dari kejauhan.