Mohon tunggu...
bit sesawi
bit sesawi Mohon Tunggu... -

Bit Sesawi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Seri 07 Gedung Tanpa Dinding: Ruang Tidur

4 Juli 2017   19:10 Diperbarui: 7 Juli 2017   00:35 666
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pagi itu gerimis sisa hujan deras semalam masih menyirami atapku. Walaupun gedung tidak memiliki sistem syaraf untuk mendeteksi temperatur, dinginnnya pagi ini bisa kurasakan menerpa bagian diriku di sisi luar. Waktu masih menunjukkan pukul lima lebih sedikit ketika seorang pekerja penuh waktu gedung ini berjalan dari rumahnya menuju ke arahku. Pintuku terbuka seorang pria dengan pakaian kumal dan kotor keluar dari dalamku, mengucapkan terima kasih pada koster yang bertugas beres - beres di gedung ini, kemudian berlalu. Suatu pemandangan yang cukup ganjil buat pekerja penuh waktu itu.

"Siapa itu?"

Koster ini jadi merasa tidak enak hati karena pertanyaan ini

"Tadi malam kan hujan deras Pak, jam sebelasan saya lihat gelandangan itu berteduh di teras. Maaf, saya suruh dia masuk saja biar tidur di dalam supaya tidak kedinginan. Tapi saya sudah bilang kalau ya mungkin cuma buat malam ini Pak."

Mata pekerja penuh waktu itu mengikuti arah berjalan gelandangan tadi, lalu segera berlari menyusulnya.

Beberapa saat kemudian nampak napasnya masih terengah - engah saat dia kembali ke arahku dengan disambut dengan pandangan si koster ini yang makin kacau. Dia sadar diri akan kelancangannya mempersilahkan orang asing masuk ke dalam gedung ini.

"Untung masih terkejar, maklum lah jarang olah raga lari"

Senyum mengembang di wajahnya. Si koster hanya ikut tersenyum buat basa basi.

"Saya bilang ke dia kalau dia tidak punya tempat berteduh malam ini, dia bisa menginap lagi di gedung ini. Hujan maupun tidak hujan, toh di gedung ini sudah tidak ada kegiatan selepas jam 10 malam. Oh ya, namanya Pak Marmo."

Si koster itu makin bingung.

==============================

Malam itu.

Disenggolnya sedikit tubuh pria yang terbaring di lantai beralas tikar itu.

"Sudah makan Pak?"

Dijawab dengan gelengan kepala.

"Ini ada sisa konsumsi kegiatan gedung ini tadi sore"

Wajahnya merekah begitu si koster menyerahkan jatah makanannya dengan diiringi ucapan terima kasih yang tidak putus - putusnya.

===================================

Namun berita mengenai tempat berteduh dan kadang ada makanannya ini mengundang lebih banyak gelandangan berteduh di gedung ini.

Beberapa minggu kemudian, sudah hampir dua puluh orang yang datang selepas jam 10 malam. Ruang rapat akhirnya juga digunakan untuk menampung karena yang perlu dipisahkan antara pria, wanita dan anak - anak. Saat si koster dan pekerja penuh waktu itu sedang menyiapkan tempat buat mereka, sebuah percakapan antara anak dan ibunya terdengar.

"Bu, aku lapar. Dari siang kan kita belum makan, katanya makannya di sini saja malam ini"

Dua orang yang sedang menyiapkan tempat ini pun menghentikan aktivitas mereka sejenak. Berpandangan penuh arti.

"Kita harus memberi mereka makan malam"

Si koster jelas meragukan kalimat ini

"Saya masih punya makanan untuk makan malam saya di rumah. Cuma ada itu. Tapi jelas tidak cukup untuk seluruh orang ini. Kalau pun seluruh persediaan bahan makanan di rumah saya dimasak semua, sepertinya tidak akan cukup untuk semua orang ini. Sementara kalau kita belikan makanan, biayanya terlalu besar Pak"

Si pekerja penuh waktu ini hanya terdiam sejenak. Sambil menggelar tikar, jari - jarinya mencari nama dalam daftar kontak di telepon genggamnya.

"Selamat malam Bu. Maaf mengganggu malam - malam begini"

Sepertinya di ujung lain saluran bilang tidak apa - apa sehingga dia melanjutkan kembali percakapan sambil berjalan keluar ruangan. Tangannya memberi isyarat agar si koster melanjutkan kegiatan menyiapkan tempat.

"Begini Bu, apa di rumah Ibu ada sisa makan malam? Seadanya saja Bu, tolong supaya jangan sampai merepotkan, yang ada saja"

Suatu permintaan yang mengundang pertanyaan di ujung lain saluran telepon ini.

"Bukan buat kami koq, Bu. Ada orang yang membutuhkan malam ini, sekiranya ada saya akan ambil sekarang."

Diam sejenak.

"Terima kasih Bu, saya segera ke sana. Maaf sekali lagi klo malam - malam begini jadi merepotkan"

Kembali aktivitas ini diulanginya beberapa kali.

Lima keluarga yang bisa menyerahkan sisa makan malamnya. Ditambah sisa makan malam keluarganya dan si koster. Sepertinya masih jauh dari kata cukup untuk makan semua tuna wisma itu. Tapi di waktu selarut ini, dia hanya berani menghubungi anggota gedung yang dia sudah kenal dekat. Apalagi untuk permintaan aneh seperti ini. Di daerah sini juga tidak ada lagi warung yang masih buka untuk menambah kekurangan makanan. Walaupun demikian, segera dipinjamnya sepeda motor si koster untuk mengambil sisa makan malam dari rumah - rumah yang sudah dia hubungi tadi.

"Sementara saya ambil dari rumah - rumah lain, tolong kamu ambil saja sisa makan malam dari rumah saya"

Motor distaternya sementara sebuah doa yang sangat lemah seperti efek kapilaritas naik di dalam hatinya supaya dicukupkan dari yang ada malam ini.

Si koster hanya memandangnya sampai laju lampu motornya tidak kelihatan lagi, kemudian segera berlari untuk mengambil sisa makan malam itu. Hanya sisa makan malam dari dua rumah ini ditambah lima rumah lagi yang sedang diambil. Dalam hitungannya yang sudah terbiasa menyiapkan konsumsi untuk gedung ini jelas tidak akan cukup untuk semua tuna wisma itu.

===================================

Hampir sejam kemudian. Suara motor itu terdengar memasuki halaman gedung itu lagi. Saat si koster itu keluar menyambutnya itu lah matanya hampir tidak percaya apa yang dilihatnya.

"Ini sisa makan malam hanya dari 5 rumah pak?"

Satu termos nasi, lauk pauk, sayuran, dan semangka potong diturunkannya dari berbagai sisi motor.

Si pekerja penuh waktu tersenyum.

"Setelah empat rumah saya datangi, yang saya dapat paling cm cukup untuk lima orang. Saya juga sengaja tidak bilang berapa banyak yang kita perlukan, supaya tidak merepotkan karena sudah malam. Menuju rumah terakhir saya mulai bingung bagaimana membagi makanan ini untuk mereka. Ternyata rumah terakhir baru selesai mengadakan pertemuan keluarga besar, dan tuan rumah menyediakan makanan terlalu banyak sementara yang datang tidak sebanyak perkiraannya. Dia sudah bingung mau dikemanakan sisa makanan sebanyak ini saat saya menelpon tadi dan malam ini. Tuhan mencukupkan"

Matanya berkaca - kaca pada kalimat terakhirnya.

Dalam hatinya si koster belajar tentang ilmu hitung yang baru bahwa dua ditambah lima bisa saja hasilnya jauh lebih besar dari perhitungannya.

=====================

Kejadian malam ini membuat kegiatan yang tadinya hanya ditangani seorang pekerja penuh waktu dan koster terkuak. Si pekerja penuh waktu gedung ini harus mempertanggungjawabkan hal ini. Rapat pun digelar.

"Kenapa menampung orang - orang seperti itu?"

"Apa Bapak tidak waspada dengan keamanan? Bagaimana kalau barang - barang gedung ini hilang?"

"Pantas saja akhir - akhir ini ruangan ini jadi lebih bau saya rasa. Pasti ya gara - gara itu"

Banyak lagi pertanyaan berseliweran. Tidak sedikit juga yang setuju bahwa kegiatan ini juga penting.

"Tapi anggaran kita sebagian besar sudah kita alokasikan untuk mendukung kegiatan pendidikan. Bagaimana kalau orang - orang itu mulai mengandalkan untuk menginap setiap malam di sini?"

"Saya sering melihat kebaikan seperti ini malah jadi beban di kemudian hari. Niatnya mulia tapi makin lama akan makin terasa berat. Belum lagi koster pasti makin capek karena jadi lebih banyak kerjaan. Bapak pun demikian kan"

Si pekerja penuh waktu ini lebih banyak diam dalam rapat ini. Satu sisi lain dia tahu sumber daya yang diperlukan cukup besar untuk meneruskannya, namun sisi lain seakan menariknya untuk tidak melepaskan pelayanan ini. Akhirnya dia berdiri.

"Bapak Ibu, saya percaya kalau bangunan ini bukan gedungnya. Bukan pula menaranya. Bukalah pintu, lihat di dalamnya. Gedung ini adalah orang di dalamnya. Jadi sebenarnya apakah kita menerima orang - orang seperti ini masuk dalam kita? Inilah saat kita melihat Tuhan yang lapar perlu makan, Tuhan yang haus perlu minum, Tuhan sebagai orang asing yang perlu tumpangan, Tuhan yang telanjang perlu pakaian. 'Sebab sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.' Bapak Ibu sekalian, ini kesempatan kita melayani. Kejadian malam itu menyadarkan saya bahwa bukan kita yang menyiapkan makan malam dan tempat tidur mereka. Kalau kita tidak sediakan pun Tuhan akan tetap menyediakan bagi mereka di tempat lain. Jadii jika kita keberatan, jangan kita melakukannya dengan berat hati, memang lebih baik kita hentikan di sini"

Ruang rapat itu hening sekian lama.

Sepertinya keputusan sudah diambil.

=============

Mulai dari beberapa remaja yang menyediakan diri membantu, akhirnya makin banyak anggota yang ikut terlibat. Pengaturan dilakukan supaya secara bergilir setiap hari ada orang yang membantu menyiapkan tempat itu selepas pulang kantor atau , dan kuliah, dan paginya saat harus membereskan tempat itu. Media sosial membantu kegiatan ini menarik lebih banyak relawan dari luar gedung ini untuk berpartisipasi. Donasi untuk sekedar sekali makan malam tidak perlu mengumpulkan sisa makan malam dari rumah - rumah. Donasi digunakan untuk memperdayakan masyarakat sekitar gedung untuk menyediakan makan malam untuk tuna wisma sehingga ada penghasilan tambahan untuk mereka.

Seorang relawan bahkan menyediakan toilet duduk lengkap dengan semprotannya sisa renovasi di rumahnya untuk memberikan demo bagaimana menggunakannya. Sesi demo ini diadakan setiap malam mengingat yang menginap setiap malam tidak selalu orang yang sama.

Rumah sebelah gedung ini juga menyumbangkan solar water heater-nya yang lama supaya setiap malam tuna wisma ini bisa mandi sebelum tidur di ruangan untuk menjaga kebersihan.

Kerjasama dengan dinas sosial setempat dan Koperasi Kasih Indonesia juga dilakukan untuk memberikan pelatihan dan motivasi untuk meraih keadaan yang lebih baik, tidak hanya terus menerus pada kondisi saat ini. Anggaran dari dinas sosial diambilkan sesuai dengan program pemerintah yang mendukung kegiatan sejenis.

Sempat sebuah gitar hilang pada suatu malam (dan sebelumnya microphone dan speaker kecil dekat mimbar dicongkel). Setelah itu, barang - barang gedung diatur penyimpanannya dengan baik supaya lebih aman. Keluar masuk para tuna wisma yang menginap juga diatur hanya melalui satu pintu.

Kapasitas yang terbatas mendorong gedung ini mengajak gedung lain untuk menyediakan tempatnya pada malam hari karena biasanya gedung - gedung ini tidak digunakan selepas jam 10 malam.

Ada banyak kesulitan lagi, tapi gedung ini tidak berhenti. Tuhan yang lapar dan haus, yang perlu tumpangan dan pakaian. Sepertinya mereka masih bisa terus melihatnya.

============================

Malam itu hujan turun deras. Seorang wanita muda mendekati pintu gedung itu. Dari pakaiannya, sepertinya dia bukan tuna wisma yang mau menginap di sini malam ini.

"Selamat malam, Mbak. Mau cari siapa?"

"Malam Pak. Saya mau ketemu dengan pengurus gedung ini. Saya ada titipan dari ibu saya"

"Boleh dititipkan ke saya, Mbak, nanti saya sampaikan ke pengurus"

Sebuah figura berisi tulisan dengan warna warni krayon yang sudah nampak usang dimakan waktu. Koster ini mengenali barang ini. Dia teringat dia pun membuat figura mimpi ini dua puluh tahun lalu dan masih memajangnya sampai sekarang di rumahnya.

Dua puluh tahun yang lalu saat gedung ini mulai menerima tuna wisma menginap di dalamnya. Dua puluh tahun lalu saat mentor dari koperasi itu memotivasi untuk memiliki mimpi dan mengusahakannya. Tidak takut bermimpi walapun bagaimana pun keadaan sekarang.

"Ini milik ibu saya Pak, dia dan saya pernah menginap di sini kira - kira dua puluh tahun yang lalu. Dia punya mimpi saya bisa sekolah tinggi. Saat itu ayah saya meninggalkan kami, kami terusir dari kontrakan, ibu saya yang hanya ibu rumah tangga biasa kesulitan mencukupi kebutuhan hidup kami karena biasa menggantungkan diri pada ayah. Dan di sini lah kami malam itu putus asa, saat saya kelaparan karena belum makan dari siang, ibu juga bingung mau bagaimana, saat itu lah gedung ini menyediakan makan malam. Kami jadi percaya Tuhan tetep peduli dengan kami, bagaimana pun keadaannya. Malam - malam berikutnya kami masih menginap di sini setelah siangnya memulung di kompleks depan situ. Waktu sesi membuat figura mimpi itulah, ibu saya jadi punya keyakinan dia pasti bisa keluar dari keadaan ini. Ada harapan. Itu yang dia tulis di figura mimpi ini bahwa anaknya harus bisa sekolah yang tinggi. Dia mulai menabung di koperasi, bisa sewa rumah dari tabungan itu, lalu pinjam uang dari koperasi itu untuk modal usaha jual nasi uduk. Dari semua perjuangan itu akhirnya tahun lalu saya wisuda lulus kuliah dan sudah diterima bekerja sebelum wisuda. Sesuatu yang nampaknya sangat mustahil pada waktu figura mimpi ini dibuat"

Air matanya meleleh deras. Koster ini juga tidak kuat menahan air mata yang menyelinap keluar melalui keriput pada ujung matanya.

"Lalu ibu dimana sekarang? Masih sehat?"

"Ibu saya sudah sehat di surga Pak. Minggu lalu dia meninggal dunia. Pesannya supaya mengembalikan figura mimpi ini, hartanya yang paling berharga, untuk disimpan di gedung ini. Supaya jadi bukti bahwa masih ada harapan, bagaimana pun keadaaannya"

Koster itu menyeka air matanya saat menatap kepergian wanita muda itu.

"Jerih payahmu tidak sia - sia"

Sebelumnya: Seri 06 Gedung Tanpa Dinding: Ruang Tunggu

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun