Mohon tunggu...
Billy Steven Kaitjily
Billy Steven Kaitjily Mohon Tunggu... Blogger

Nomine Best in Opinion Kompasiana Awards 2024 | Konsisten mengangkat isu-isu yang berhubungan dengan Sustainable Development Goals (SDGs), terutama yang terpantau di Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Trotoar Jakarta: Ketika Mimpi Ramah Pejalan Kaki Kandas di Lapak PKL

14 Oktober 2025   07:51 Diperbarui: 14 Oktober 2025   13:31 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Trotoar di Jalan Raya Minangkabau, Jakarta Selatan, yang baru selesai dibangun beberapa sudah diduduki oleh pedagang kaki lima. (Foto: Billy Kaitjily)

Tahun 2019, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta meluncurkan sebuah program ambisius: pelebaran trotoar di 31 ruas jalan yang masuk rute angkutan publik dengan anggaran fantastis sebesar Rp1,1 triliun (Tempo).

Program yang dicanangkan selesai akhir tahun 2020 ini, diklaim untuk mendorong warga Jakarta beralih dari kendaraan pribadi ke transportasi publik. Revitalisasi trotoar bahkan telah dilakukan sepanjang 134 kilometer sejak 2017 hingga 2019, dengan target tambahan 47 kilometer pada 2020. 

Salah satu hasil percontohan adalah trotoar Jalan Sudirman-MH Thamrin yang direvitalisasi pada 2017-2018, lengkap dengan desain ramah disabilitas. 

Trotoar Cikini diperlebar dari 3 meter menjadi 4,5-6 meter sepanjang 10 kilometer, dengan pembagian 1,5 meter untuk pejalan kaki, 1,5 meter untuk penyandang disabilitas, 1,5 meter untuk perabot jalan, dan 0,5-1 meter untuk perlengkapan penunjang. Kawasan ini, ditetapkan sebagai koridor seni, kreasi, budaya, dan tempat berkumpulnya komunitas di Jakarta.

Sementara trotoar Kemang sepanjang 3,3 kilometer diperlebar dari 1,5-2 meter menjadi 3-4 meter dengan Teknik Pengaturan Zonasi, hasil kolaborasi pemerintah dengan pemilik gedung hotel dan restoran.

Namun, mimpi indah tentang Jakarta yang ramah pejalan kaki kandas dengan cepat. Trotoar yang baru saja direvitalisasi langsung diambil alih oleh pedagang kaki lima.

Di kawasan Salemba, Jakarta Pusat, trotoar digunakan untuk berjualan oleh sejumlah pedagang kaki lima. Biasanya pada sore hari ketika warga pulang kantor, para PKL berjejer menawarkan dagangannya.

Hal serupa juga terjadi di Jalan Raya Minangkabau, Jakarta Selatan. Trotoar yang baru saja direvitalisasi langsung diambil alih oleh PKL.

Kondisi ini jelas mengganggu kenyamanan dan membahayakan keselamatan pejalan kaki, serta melanggar peraturan yang berlaku terkait penggunaan ruang publik.

Investasi triliunan rupiah yang seharusnya menghadirkan kenyamanan bagi pejalan kaki, justru kembali menjadi arena rebutan ruang antara kepentingan ekonomi pedagang dan hak dasar warga untuk berjalan dengan aman.

Dilema antara regulasi, realitas ekonomi, dan keadilan ruang publik

Persoalan pedagang kaki lima di trotoar Jakarta bukan masalah hitam-putih yang sederhana. Di satu sisi, ada regulasi yang mengatur.

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 3 Tahun 2014 Pasal 13 menyebutkan, bahwa jaringan pejalan kaki dapat digunakan untuk kegiatan usaha kecil formal dengan syarat ketat.

Lapak pedagang kaki lima dan bangunan harus berjarak 1,5-2,5 meter, perbandingan lebar ruang dagang dan akses pejalan kaki harus 1:1,5, dan jalur pejalan kaki memiliki lebar minimal 5 meter.

Namun di lapangan, syarat-syarat ini jarang terpenuhi. Pedagang kaki lima memenuhi trotoar tanpa mempertimbangkan ruang yang harus tersisa untuk pejalan kaki.

Urgensi masalah ini terletak pada gagalnya prinsip keberlanjutan dalam pembangunan infrastruktur.

Revitalisasi trotoar dengan anggaran sebesar Rp1,1 triliun seharusnya bukan hanya soal membangun infrastruktur fisik yang megah, tetapi juga memastikan bahwa infrastruktur tersebut dapat berfungsi sesuai peruntukannya dalam jangka panjang.

Ketika trotoar yang baru dibangun langsung diokupasi pedagang kaki lima, ini menunjukkan kegagalan dalam mempertimbangkan aspek sosial dan ekonomi dalam perencanaan.

Uang rakyat terbuang untuk infrastruktur yang tidak berkelanjutan, karena tidak ada mekanisme yang memastikan trotoar tetap berfungsi untuk pejalan kaki.

Masalah struktural yang lebih dalam adalah ketiadaan solusi terintegrasi untuk pedagang kaki lima.

Anggota Fraksi PSI di DPRD DKI Jakarta, William Sarana, berkeras bahwa trotoar harus bebas dari aktivitas pedagang kaki lima, dan menyarankan agar Pemprov DKI menempatkan pedagang jalanan ke dalam gedung perkantoran hingga pasar modern (BBC).

Namun, saran ini meski baik, mengabaikan realitas ekonomi pedagang kaki lima yang membutuhkan lokasi strategis dengan lalu lintas pejalan kaki tinggi untuk bertahan hidup.

Menempatkan mereka di dalam gedung atau pasar yang jauh dari pusat keramaian sama saja dengan mencabut mata pencaharian mereka.

Di sisi lain, membiarkan mereka menduduki trotoar berarti mengorbankan hak pejalan kaki, termasuk kelompok rentan seperti penyandang disabilitas, ibu hamil, dan lansia yang membutuhkan jalur aman untuk bergerak.

Ini menciptakan sebuah dilema, bukan?

Revitalisasi tanpa perencanaan sosial-ekonomi adalah pemborosan

Kegagalan revitalisasi trotoar Jakarta untuk bertahan dari okupasi pedagang kaki lima adalah cerminan dari pendekatan pembangunan infrastruktur yang tidak holistik dan tidak berkelanjutan.

Pemprov DKI Jakarta terjebak dalam paradigma pembangunan fisik semata, tanpa mempertimbangkan aspek sosial dan ekonomi yang akan menentukan keberlanjutan infrastruktur tersebut.

Menghabiskan anggaran Rp1,1 triliun untuk membangun trotoar lebar tanpa menyediakan solusi alternatif bagi pedagang kaki lima adalah pemborosan sumber daya publik.

Argumen pertama berkaitan dengan ketidakadilan dalam alokasi ruang publik. Trotoar adalah infrastruktur publik yang dibiayai oleh pajak semua warga untuk kepentingan pejalan kaki.

Ketika pedagang kaki lima menduduki trotoar, terjadi privatisasi tidak langsung atas ruang publik untuk kepentingan ekonomi segelintir pihak.

Pejalan kaki, termasuk jutaan pengguna transportasi publik yang harus berjalan dari dan menuju halte atau stasiun, kehilangan haknya untuk bergerak dengan aman dan nyaman.

Yang lebih parah, kelompok rentan seperti penyandang disabilitas netra yang mengandalkan guiding block di trotoar menjadi sangat dirugikan.

Anggota Komisi D DPRD DKI Jakarta, Setyoko, bahkan meminta Dinas Bina Marga meningkatkan kualitas infrastruktur trotoar karena dinilai kondisinya tidak ramah pejalan kaki dan membahayakan kelompok disabilitas  (Kumparan).

Ironis ketika trotoar yang baru saja dibangun dengan klaim ramah disabilitas, justru tidak dapat digunakan karena diduduki pedagang.

Argumen kedua menyangkut kegagalan integrasi kebijakan. Revitalisasi trotoar dimaksudkan untuk mendukung Instruksi Gubernur Nomor 66 Tahun 2019 tentang pengendalian kualitas udara Jakarta dengan mendorong warga menggunakan transportasi umum.

Namun, bagaimana warga akan tertarik beralih ke transportasi publik, jika pengalaman berjalan kaki dari rumah ke halte atau dari stasiun ke kantor sangat buruk karena trotoar dipenuhi pedagang? Kebijakan transportasi dan kebijakan penataan ruang publik harus terintegrasi.

Sayangnya, Pemprov menjalankan keduanya secara terpisah: membangun infrastruktur transportasi publik di satu sisi, membangun trotoar lebar di sisi lain, tetapi tidak memastikan keduanya dapat berfungsi harmonis karena tidak mengatasi masalah pedagang kaki lima yang akan menduduki trotoar.

Argumen ketiga berkaitan dengan lemahnya perspektif keberlanjutan dalam perencanaan. Pembangunan berkelanjutan bukan hanya soal aspek lingkungan, tetapi juga aspek sosial dan ekonomi.

Revitalisasi trotoar hanya mempertimbangkan aspek teknis dan estetika, lebar trotoar, bahan material, desain ramah disabilitas, tanpa mempertimbangkan bagaimana dinamika sosial-ekonomi akan memengaruhi keberlanjutan fungsi trotoar tersebut.

Pedagang kaki lima adalah bagian dari realitas ekonomi Jakarta. Mereka tidak akan hilang dengan sendirinya hanya karena trotoar diperlebar.

Tanpa menyediakan alternatif tempat berdagang yang layak dan strategis, pedagang akan kembali menduduki trotoar, dan siklus ini akan terus berulang.

Investasi triliunan rupiah menjadi tidak berkelanjutan karena dalam beberapa bulan atau tahun, kondisi akan kembali seperti semula.

Tiga pilar pembangunan trotoar yang berkelanjutan dan adil

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, saya mencoba menawarkan tiga solusi pembangunan trotoar yang berkelanjutan dan adil, mungkin dapat dipertimbangkan.

Pertama, bangun infrastruktur terpadu untuk pedagang kaki lima sebelum merevitalisasi trotoar. Pemprov DKI harus mengubah urutan prioritas: jangan bangun trotoar dulu baru memikirkan pedagang kaki lima, tetapi selesaikan dulu masalah pedagang kaki limanya baru bangun trotoar.

Lakukan pemetaan menyeluruh jumlah dan lokasi pedagang kaki lima di setiap kawasan yang akan direvitalisasi trotoarnya. Bangun pasar modern atau food court dengan sewa terjangkau di lokasi yang strategis dan dekat dengan arus pejalan kaki.

Pasar ini tidak boleh ditempatkan di basement gedung atau lokasi terpencil, tetapi harus di lokasi yang mudah diakses dan terlihat dari jalan raya. Libatkan pedagang kaki lima dalam perencanaan desain pasar agar sesuai dengan kebutuhan mereka.

Berikan insentif untuk pindah: subsidi sewa untuk tahun pertama, bantuan modal untuk penataan lapak, dan jaminan bahwa mereka akan mendapat pelanggan karena lokasi yang strategis.

Hanya setelah pedagang kaki lima dipindahkan dengan sukarela dan memiliki tempat berdagang yang layak, barulah trotoar direvitalisasi dan dijaga ketat agar tidak diduduki lagi.

Kedua, coba terapkan Teknik Pengaturan Zonasi yang adil dan konsisten di seluruh Jakarta. Model Teknik Pengaturan Zonasi yang diterapkan di Kemang dapat direplikasi, tetapi dengan perbaikan.

Zonasi harus jelas membagi: zona untuk pejalan kaki yang wajib bebas hambatan minimal 2 meter untuk memastikan aksesibilitas disabilitas dan keselamatan.

Zona untuk pedagang resmi yang telah memiliki izin dengan batasan jumlah dan jarak yang ketat sesuai Peraturan Menteri Pekerjaan Umum 3/2014, dan zona buffer antara zona pejalan kaki dan zona pedagang untuk memastikan tidak ada tumpang tindih.

Yang penting, zonasi ini harus diterapkan secara konsisten. Jangan seperti saat ini di mana aturan ada tetapi penegakannya lemah.

Pasang marking permanen di trotoar yang menunjukkan zona mana untuk pejalan kaki dan mana yang boleh digunakan pedagang berizin.

Lakukan patroli rutin oleh Satpol PP dan terapkan sanksi tegas berupa denda progresif bagi pedagang yang melanggar zonasi. Libatkan warga dan komunitas pejalan kaki dalam pengawasan melalui aplikasi pengaduan yang responsif.

Ketiga, integrasikan revitalisasi trotoar dengan program pemberdayaan ekonomi pedagang kaki lima. Revitalisasi trotoar tidak boleh berhenti pada pembangunan fisik, tetapi harus dilanjutkan dengan program pemberdayaan ekonomi jangka panjang.

Bentuk koperasi atau paguyuban pedagang kaki lima di setiap kawasan dengan pendampingan dari Dinas Koperasi dan UKM. Berikan pelatihan manajemen usaha, pembukuan sederhana, dan pelayanan pelanggan agar pedagang dapat meningkatkan kualitas dan daya saing.

Fasilitasi akses ke pembiayaan mikro dengan bunga rendah untuk pengembangan usaha. Kembangkan sistem digitalisasi: bantu pedagang untuk go online melalui platform aplikasi pesan antar makanan atau e-commerce, sehingga mereka tidak terlalu bergantung pada lokasi fisik di trotoar.

Promosikan produk pedagang lokal sebagai bagian dari wisata kuliner Jakarta. Dengan pemberdayaan ekonomi yang berkelanjutan, pedagang akan memiliki alternatif sumber pendapatan dan tidak akan terlalu bergantung pada okupasi trotoar.

Program ini membutuhkan anggaran, tetapi jauh lebih kecil dibandingkan kerugian dari revitalisasi trotoar yang gagal karena langsung diduduki pedagang.

Penutup

Dilema trotoar Jakarta antara pejalan kaki dan pedagang kaki lima adalah cerminan dari kegagalan perencanaan pembangunan yang holistik dan berkelanjutan.

Investasi Rp1,1 triliun untuk revitalisasi trotoar tidak akan bermakna jika dalam beberapa bulan trotoar kembali diduduki pedagang.

Tiga solusi yang ditawarkan: pembangunan infrastruktur terpadu untuk pedagang sebelum merevitalisasi trotoar, penerapan Teknik Pengaturan Zonasi yang konsisten, dan integrasi dengan program pemberdayaan ekonomi, adalah langkah konkit untuk memastikan bahwa pembangunan infrastruktur benar-benar berkelanjutan.

Yang dibutuhkan adalah perubahan paradigma: dari pembangunan yang hanya berorientasi fisik menjadi pembangunan yang mempertimbangkan aspek sosial dan ekonomi, dari pendekatan represif menjadi pendekatan solutif, dari konflik nol-sum menjadi koeksistensi yang adil.

Pejalan kaki berhak mendapat trotoar yang aman dan nyaman. Demikian pedagang kaki lima berhak mendapat tempat berdagang yang layak dan strategis. Keduanya bisa dipenuhi dengan perencanaan yang matang dan pelaksanaan yang konsisten.

Saatnya Jakarta membuktikan bahwa kota modern dapat ramah pejalan kaki sekaligus inklusif bagi ekonomi rakyat kecil. Trotoar mesti dikembalikan kepada fungsinya, dan pedagang kaki lima harus diberdayakan di tempat yang tepat, bukan saling berebut ruang, tetapi hidup berdampingan dengan adil dan bermartabat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun