Menempatkan mereka di dalam gedung atau pasar yang jauh dari pusat keramaian sama saja dengan mencabut mata pencaharian mereka.
Di sisi lain, membiarkan mereka menduduki trotoar berarti mengorbankan hak pejalan kaki, termasuk kelompok rentan seperti penyandang disabilitas, ibu hamil, dan lansia yang membutuhkan jalur aman untuk bergerak.
Ini menciptakan sebuah dilema, bukan?
Revitalisasi tanpa perencanaan sosial-ekonomi adalah pemborosan
Kegagalan revitalisasi trotoar Jakarta untuk bertahan dari okupasi pedagang kaki lima adalah cerminan dari pendekatan pembangunan infrastruktur yang tidak holistik dan tidak berkelanjutan.
Pemprov DKI Jakarta terjebak dalam paradigma pembangunan fisik semata, tanpa mempertimbangkan aspek sosial dan ekonomi yang akan menentukan keberlanjutan infrastruktur tersebut.
Menghabiskan anggaran Rp1,1 triliun untuk membangun trotoar lebar tanpa menyediakan solusi alternatif bagi pedagang kaki lima adalah pemborosan sumber daya publik.
Argumen pertama berkaitan dengan ketidakadilan dalam alokasi ruang publik. Trotoar adalah infrastruktur publik yang dibiayai oleh pajak semua warga untuk kepentingan pejalan kaki.
Ketika pedagang kaki lima menduduki trotoar, terjadi privatisasi tidak langsung atas ruang publik untuk kepentingan ekonomi segelintir pihak.
Pejalan kaki, termasuk jutaan pengguna transportasi publik yang harus berjalan dari dan menuju halte atau stasiun, kehilangan haknya untuk bergerak dengan aman dan nyaman.
Yang lebih parah, kelompok rentan seperti penyandang disabilitas netra yang mengandalkan guiding block di trotoar menjadi sangat dirugikan.
Anggota Komisi D DPRD DKI Jakarta, Setyoko, bahkan meminta Dinas Bina Marga meningkatkan kualitas infrastruktur trotoar karena dinilai kondisinya tidak ramah pejalan kaki dan membahayakan kelompok disabilitas  (Kumparan).