Persoalan pedagang kaki lima di trotoar Jakarta bukan masalah hitam-putih yang sederhana. Di satu sisi, ada regulasi yang mengatur.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 3 Tahun 2014 Pasal 13 menyebutkan, bahwa jaringan pejalan kaki dapat digunakan untuk kegiatan usaha kecil formal dengan syarat ketat.
Lapak pedagang kaki lima dan bangunan harus berjarak 1,5-2,5 meter, perbandingan lebar ruang dagang dan akses pejalan kaki harus 1:1,5, dan jalur pejalan kaki memiliki lebar minimal 5 meter.
Namun di lapangan, syarat-syarat ini jarang terpenuhi. Pedagang kaki lima memenuhi trotoar tanpa mempertimbangkan ruang yang harus tersisa untuk pejalan kaki.
Urgensi masalah ini terletak pada gagalnya prinsip keberlanjutan dalam pembangunan infrastruktur.
Revitalisasi trotoar dengan anggaran sebesar Rp1,1 triliun seharusnya bukan hanya soal membangun infrastruktur fisik yang megah, tetapi juga memastikan bahwa infrastruktur tersebut dapat berfungsi sesuai peruntukannya dalam jangka panjang.
Ketika trotoar yang baru dibangun langsung diokupasi pedagang kaki lima, ini menunjukkan kegagalan dalam mempertimbangkan aspek sosial dan ekonomi dalam perencanaan.
Uang rakyat terbuang untuk infrastruktur yang tidak berkelanjutan, karena tidak ada mekanisme yang memastikan trotoar tetap berfungsi untuk pejalan kaki.
Masalah struktural yang lebih dalam adalah ketiadaan solusi terintegrasi untuk pedagang kaki lima.
Anggota Fraksi PSI di DPRD DKI Jakarta, William Sarana, berkeras bahwa trotoar harus bebas dari aktivitas pedagang kaki lima, dan menyarankan agar Pemprov DKI menempatkan pedagang jalanan ke dalam gedung perkantoran hingga pasar modern (BBC).
Namun, saran ini meski baik, mengabaikan realitas ekonomi pedagang kaki lima yang membutuhkan lokasi strategis dengan lalu lintas pejalan kaki tinggi untuk bertahan hidup.