Ironis ketika trotoar yang baru saja dibangun dengan klaim ramah disabilitas, justru tidak dapat digunakan karena diduduki pedagang.
Argumen kedua menyangkut kegagalan integrasi kebijakan. Revitalisasi trotoar dimaksudkan untuk mendukung Instruksi Gubernur Nomor 66 Tahun 2019 tentang pengendalian kualitas udara Jakarta dengan mendorong warga menggunakan transportasi umum.
Namun, bagaimana warga akan tertarik beralih ke transportasi publik, jika pengalaman berjalan kaki dari rumah ke halte atau dari stasiun ke kantor sangat buruk karena trotoar dipenuhi pedagang? Kebijakan transportasi dan kebijakan penataan ruang publik harus terintegrasi.
Sayangnya, Pemprov menjalankan keduanya secara terpisah: membangun infrastruktur transportasi publik di satu sisi, membangun trotoar lebar di sisi lain, tetapi tidak memastikan keduanya dapat berfungsi harmonis karena tidak mengatasi masalah pedagang kaki lima yang akan menduduki trotoar.
Argumen ketiga berkaitan dengan lemahnya perspektif keberlanjutan dalam perencanaan. Pembangunan berkelanjutan bukan hanya soal aspek lingkungan, tetapi juga aspek sosial dan ekonomi.
Revitalisasi trotoar hanya mempertimbangkan aspek teknis dan estetika, lebar trotoar, bahan material, desain ramah disabilitas, tanpa mempertimbangkan bagaimana dinamika sosial-ekonomi akan memengaruhi keberlanjutan fungsi trotoar tersebut.
Pedagang kaki lima adalah bagian dari realitas ekonomi Jakarta. Mereka tidak akan hilang dengan sendirinya hanya karena trotoar diperlebar.
Tanpa menyediakan alternatif tempat berdagang yang layak dan strategis, pedagang akan kembali menduduki trotoar, dan siklus ini akan terus berulang.
Investasi triliunan rupiah menjadi tidak berkelanjutan karena dalam beberapa bulan atau tahun, kondisi akan kembali seperti semula.
Tiga pilar pembangunan trotoar yang berkelanjutan dan adil
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, saya mencoba menawarkan tiga solusi pembangunan trotoar yang berkelanjutan dan adil, mungkin dapat dipertimbangkan.
Pertama, bangun infrastruktur terpadu untuk pedagang kaki lima sebelum merevitalisasi trotoar. Pemprov DKI harus mengubah urutan prioritas: jangan bangun trotoar dulu baru memikirkan pedagang kaki lima, tetapi selesaikan dulu masalah pedagang kaki limanya baru bangun trotoar.