Dengan model pariwisata berbasis komunitas ini, wisatawan tidak hanya menikmati keindahan alam tetapi juga berkontribusi langsung pada kesejahteraan warga lokal, sementara warga memiliki insentif kuat untuk menjaga kelestarian lingkungan sebagai modal wisata mereka.
Penutup
Kepulauan Seribu adalah bukti, bahwa pembangunan pariwisata tanpa keadilan ekonomi, hanya menciptakan ilusi kemakmuran.
Ketika ratusan ribu wisatawan mengunjungi pulau-pulau di Kepulauan Seribu sepanjang 2024, tetapi angka kemiskinan tetap tertinggi di Jakarta, bahkan meningkat dari tahun ke tahun, ini menunjukkan ada yang salah secara mendasar dalam struktur ekonomi pariwisata kita.
Warga Kepulauan Seribu tidak membutuhkan belas kasihan atau bantuan sosial yang bersifat karitatif dari pemerintah.
Mereka membutuhkan keadilan, yakni hak untuk mengelola sumber daya di wilayah mereka sendiri, akses terhadap modal dan teknologi, serta perlindungan dari dominasi investor luar yang eksploitatif.
Tiga solusi yang ditawarkan: reformasi tata kelola pulau, pengembangan ekonomi kelautan terpadu, dan pariwisata berbasis komunitas, adalah langkah konkrit untuk mengubah posisi warga Kepulauan Seribu dari penonton menjadi pelaku utama dalam pembangunan ekonomi di wilayah mereka.
Ini bukan sekadar tentang mengurangi angka kemiskinan, tetapi tentang mengembalikan martabat dan kedaulatan ekonomi masyarakat kepulauan yang selama puluhan tahun terpinggirkan di pulau-pulau mereka sendiri.
Ini waktunya Kepulauan Seribu tidak lagi menjadi surga wisata yang menghasilkan neraka kemiskinan bagi warganya.
Kepulauan Seribu mesti menjadi tuan rumah sejati, menikmati hasil dari keindahan alam yang mereka jaga, bukan sekadar penonton yang menyaksikan orang asing menikmati kekayaan di tanah mereka.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI
