Memberikan pelatihan tanpa disertai akses modal usaha, pasar yang pasti, dan perlindungan dari dominasi investor besar, hanya akan menciptakan ilusi pemberdayaan.
Warga mungkin memiliki keterampilan baru, tetapi tetap tidak berdaya secara ekonomi karena mereka tidak memiliki kontrol atas sumber daya dan pasar di wilayah mereka sendiri.
Selama struktur pengelolaan pulau masih didominasi oleh investor luar, selama itu pula warga Kepulauan Seribu akan tetap menjadi penonton wisata di tanah mereka sendiri.
Tiga pilar pemberdayaan ekonomi berbasis keadilan lokal
Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, saya mengusulkan tiga pilar pemberdayaan ekonomi berdasarkan keadilan sosial yang mungkin perlu dipertimbangkan oleh pemangku kepentingan.
Pertama-tama, lakukan reformasi tata kelola pulau dengan mengutamakan hak kelola warga lokal.
Pemprov DKI mesti mengevaluasi ulang status kepemilikan dan pengelolaan 86 pulau yang saat ini dikelola secara perorangan.
Pulau-pulau yang masa konsesinya sudah habis atau yang pengelolaannya terbukti tidak memberikan manfaat bagi warga lokal mesti dikembalikan kepada pengelolaan komunitas melalui mekanisme Badan Usaha Milik Desa atau Koperasi Masyarakat.
Warga Kepulauan Seribu mesti diberikan hak prioritas untuk mengelola homestay, restoran, dan usaha wisata lainnya di pulau-pulau mereka.
Pemerintah dapat memfasilitasi pembentukan koperasi wisata yang dimiliki dan dikelola oleh warga lokal di setiap pulau berpenghuni, dengan sistem bagi hasil yang adil dan transparan.
Investor luar boleh bermitra, tetapi dengan catatan wajib melibatkan dan memberdayakan warga lokal, bukan hanya sebagai pekerja upahan tetapi sebagai mitra usaha yang memiliki saham dan suara dalam pengambilan keputusan.
Model ini dapat dimulai dari pulau-pulau dengan jumlah pengunjung tinggi seperti Pulau Pramuka, Pulau Tidung, Pulau Harapan, dan Pulau Pari sebagai pilot project, kemudian direplikasi ke pulau-pulau lainnya.
