Argumen pertama berkaitan dengan ketimpangan kepemilikan dan pengelolaan pulau. Fakta bahwa 86 dari 110 pulau dikelola secara perorangan menunjukkan sumber daya alam Kepulauan Seribu sudah diprivatisasi untuk kepentingan segelintir pihak.
Warga lokal yang seharusnya menjadi tuan rumah di wilayah mereka sendiri, justru menjadi penonton atau, dalam kasus terbaik, pekerja upahan dengan gaji rendah di resort-resort milik investor luar.
Ketika ratusan ribu wisatawan berkunjung ke Kepulauan Seribu sepanjang 2024, pertanyaan kritisnya adalah: berapa persen dari uang yang dihabiskan wisatawan tersebut yang benar-benar masuk ke kantong warga lokal?
Data menunjukkan jawabannya: sangat sedikit, terbukti dari angka kemiskinan yang tetap tinggi, bahkan cenderung meningkat.
Argumen kedua menyangkut ketergantungan ganda yang menjerat nelayan Kepulauan Seribu. Di satu sisi, mereka menghadapi tantangan semakin sulitnya mendapatkan ikan karena kerusakan ekosistem laut.
Ironisnya, kerusakan ini sebagian disebabkan aktivitas wisata yang tidak terkendali dan pembangunan infrastruktur tanpa pertimbangan lingkungan yang matang.
Di sisi lain, mereka tidak memiliki modal yang cukup untuk beralih ke teknologi penangkapan yang lebih modern atau mengembangkan usaha pengolahan hasil laut yang bernilai tambah tinggi.
Sebagian besar nelayan Kepulauan Seribu masih menggunakan perahu dan alat tangkap tradisional yang produktivitasnya rendah.
Akibatnya, mereka terjebak dalam kemiskinan struktural: tidak bisa lagi mengandalkan laut sebagai sumber penghidupan utama, tetapi juga tidak memiliki alternatif ekonomi yang layak.
Argumen ketiga berkaitan dengan ketidakcukupan program pemerintah dalam mengatasi akar masalah.
Program pelatihan keterampilan dan bantuan sosial yang selama ini dilakukan, memang memiliki nilai positif, tetapi sifatnya sangat temporer dan tidak menyentuh struktur ketimpangan ekonomi yang mendasar.
