Malam itu, udara di kamar Mawar RS Agung terasa sejuk, hampir terlalu dingin untuk tubuhku yang lemas.
Aku berbaring di ranjang rumah sakit, masih terhubung dengan selang infus yang menetes perlahan.
Dua botol infus sudah mengalir ke tubuhku sejak siang tadi, setelah ponakan istriku membawaku ke IGD karena aku muntah dan diare sejak pagi.
Tubuhku terasa seperti kain basah yang diperas habis, tapi di kamar ini, aku mulai merasa sedikit lebih baik.
AC berdengung pelan, dan aku meminta suster untuk menurunkan suhunya, agar tidak terlalu membeku.
Kamar Mawar, kelas II, terdiri dari empat ranjang. Tiga sudah terisi, termasuk milikku, dan satu masih kosong, menanti pasien berikutnya.
Di tengah keheningan, percakapan dari ranjang sebelah mengusik ketenanganku. Suara seorang pria terdengar lelet namun penuh semangat. "Dok, besok saya sudah boleh pulang, kan?" tanyanya pada dokter yang baru masuk.
Suaranya penuh harap, seolah rumah sakit adalah penjara yang ingin segera ditinggalkannya. Dokter perempuan, dengan nada sabar namun tegas, menjawab, "Belum bisa, Pak. Trombosit Bapak masih belum normal."
Aku membayangkan pria tersebut mengerutkan kening, tidak puas dengan jawaban itu. "Tapi saya merasa sudah sehat, Dok. Besok saya mau pulang saja," balasnya, nadanya kini sedikit membantah.
Aku mendengar dokter itu menghela napas pelan sebelum bertanya, "Kenapa buru-buru ingin pulang, Pak?"