Mohon tunggu...
Billy Steven Kaitjily
Billy Steven Kaitjily Mohon Tunggu... Blogger

Nomine Best in Opinion Kompasiana Awards 2024 | Juara Favorit Blog Competition Badan Bank Tanah 2025

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Aku dan Tetanggaku yang Merindukan Rokok

18 September 2025   22:24 Diperbarui: 19 September 2025   04:20 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kamar Mawar, di mana aku dirawat. (Foto: Billy Steven Kaitjily)

Malam itu, udara di kamar Mawar RS Agung terasa sejuk, hampir terlalu dingin untuk tubuhku yang lemas.

Aku berbaring di ranjang rumah sakit, masih terhubung dengan selang infus yang menetes perlahan.

Dua botol infus sudah mengalir ke tubuhku sejak siang tadi, setelah ponakan istriku membawaku ke IGD karena aku muntah dan diare sejak pagi.

Tubuhku terasa seperti kain basah yang diperas habis, tapi di kamar ini, aku mulai merasa sedikit lebih baik.

AC berdengung pelan, dan aku meminta suster untuk menurunkan suhunya, agar tidak terlalu membeku.

Kamar Mawar, kelas II, terdiri dari empat ranjang. Tiga sudah terisi, termasuk milikku, dan satu masih kosong, menanti pasien berikutnya.

Di tengah keheningan, percakapan dari ranjang sebelah mengusik ketenanganku. Suara seorang pria terdengar lelet namun penuh semangat. "Dok, besok saya sudah boleh pulang, kan?" tanyanya pada dokter yang baru masuk.

Suaranya penuh harap, seolah rumah sakit adalah penjara yang ingin segera ditinggalkannya. Dokter perempuan, dengan nada sabar namun tegas, menjawab, "Belum bisa, Pak. Trombosit Bapak masih belum normal."

Aku membayangkan pria tersebut mengerutkan kening, tidak puas dengan jawaban itu. "Tapi saya merasa sudah sehat, Dok. Besok saya mau pulang saja," balasnya, nadanya kini sedikit membantah.

Aku mendengar dokter itu menghela napas pelan sebelum bertanya, "Kenapa buru-buru ingin pulang, Pak?"

Jawabannya membuatku hampir terlonjak dari ranjang. "Saya mau ngerokok, Dok. Atau, boleh saya ke bawah ngerokok sebentar?"

Aku menahan tawa, tapi di dalam hati, aku terkejut. Merokok? Dalam kondisi seperti ini? Dokter dengan sabar menjelaskan, "Jangan merokok dulu, Pak. Kondisi Bapak masih sakit. Masih diinfus. Tahan dulu sampai sembuh, ya."

Namun, pria itu sepertinya tidak peduli. Aku bisa mendengar nada keras kepalanya, seperti anak kecil yang merengek minta permen.

Sebelumnya, aku juga mendengar istrinya, yang tampaknya sudah kehabisan kesabaran, memarahinya. "Sudah dikasih obat, kok nggak mau minum, Bang? Mau sembuh apa nggak sih?" katanya dengan nada tinggi.

Aku membayangkan wajah istrinya memerah, geram karena suaminya lebih memikirkan rokok daripada kesehatannya.

Tak lama, dokter datang setelah laporan sang istri, menjelaskan panjang lebar soal risiko pulang terlalu cepat. Tapi ia tetap ngotot, seolah rokok adalah obat mujarab yang akan menyembuhkannya.

Aku terdiam, menatap langit-langit kamar yang putih steril. Di kamar Mawar ini, udara terasa bersih, bebas dari asap rokok yang biasanya kuhirup di Rusunawa Pasar Rumput, tempat tinggalku.

Di sana, asap rokok adalah bagian dari kehidupan sehari-hari. Orang-orang merokok di lorong, di balkon, bahkan di dalam hunian mereka sendiri, tanpa mempedulikan tetangga.

Istriku, sering merasa sesak di dada, bukan hanya karena asap, tapi juga karena sikap acuh tak acuh mereka terhadap kesehatan bersama.

Melihat tingkah si pasien pria ini, aku mulai bertanya-tanya: apa yang membuat perokok begitu terikat pada kebiasaan mereka, bahkan saat tubuh mereka sendiri sudah memohon untuk berhenti?

Jujur, aku merasa nyaman di kamar Mawar. Selain udara yang segar, perawat dan dokter di RS Agung sangat perhatian.

Aturan ketat rumah sakit yang melarang merokok membuatku merasa aman, setidaknya untuk sementara.

Aku membayangkan jika pria tersebut berada di rumah sakit lain tanpa aturan serupa, mungkin dia sudah menyelinap ke sudut kamar dengan sebatang rokok di tangan. Aku menggeleng pelan, tak habis pikir.

Pikiran itu membawaku pada sebuah ide. Bagaimana jika BPJS Kesehatan membuat kebijakan untuk tidak menanggung biaya pengobatan bagi perokok aktif?

Mungkin, jika mereka tahu betapa mahalnya harga kesehatan, mereka akan berpikir dua kali sebelum menyalakan rokok berikutnya.

Aku tahu usul ini mungkin terdengar keras, tapi melihat tingkah pria itu, aku merasa ini bisa jadi cara untuk membuka mata para perokok.

Kesehatan itu mahal, dan kebiasaan buruk seharusnya tidak terus dibiarkan merusak tubuh mereka, atau orang-orang di sekitar mereka.

Malam semakin larut, suara pria perokok itu memecahkan keheningan. "Suster besok pagi sudah boleh pulang, kan? Tanyanya ke suster yang datang memeriksa kondisinya.

"Ya, tapi setelah diurus surat izin pulang dulu," jawab suster sedikit kesal.

Aku menutup mata, berharap esok tubuhku lebih kuat. Di kamar Mawar ini, aku belajar satu hal: kesehatan adalah harta yang sering baru kita hargai saat ia mulai pergi.

Semoga, suatu hari, perokok lainnya menyadari hal yang sama. Salam sehat! 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun