Jawabannya membuatku hampir terlonjak dari ranjang. "Saya mau ngerokok, Dok. Atau, boleh saya ke bawah ngerokok sebentar?"
Aku menahan tawa, tapi di dalam hati, aku terkejut. Merokok? Dalam kondisi seperti ini? Dokter dengan sabar menjelaskan, "Jangan merokok dulu, Pak. Kondisi Bapak masih sakit. Masih diinfus. Tahan dulu sampai sembuh, ya."
Namun, pria itu sepertinya tidak peduli. Aku bisa mendengar nada keras kepalanya, seperti anak kecil yang merengek minta permen.
Sebelumnya, aku juga mendengar istrinya, yang tampaknya sudah kehabisan kesabaran, memarahinya. "Sudah dikasih obat, kok nggak mau minum, Bang? Mau sembuh apa nggak sih?" katanya dengan nada tinggi.
Aku membayangkan wajah istrinya memerah, geram karena suaminya lebih memikirkan rokok daripada kesehatannya.
Tak lama, dokter datang setelah laporan sang istri, menjelaskan panjang lebar soal risiko pulang terlalu cepat. Tapi ia tetap ngotot, seolah rokok adalah obat mujarab yang akan menyembuhkannya.
Aku terdiam, menatap langit-langit kamar yang putih steril. Di kamar Mawar ini, udara terasa bersih, bebas dari asap rokok yang biasanya kuhirup di Rusunawa Pasar Rumput, tempat tinggalku.
Di sana, asap rokok adalah bagian dari kehidupan sehari-hari. Orang-orang merokok di lorong, di balkon, bahkan di dalam hunian mereka sendiri, tanpa mempedulikan tetangga.
Istriku, sering merasa sesak di dada, bukan hanya karena asap, tapi juga karena sikap acuh tak acuh mereka terhadap kesehatan bersama.
Melihat tingkah si pasien pria ini, aku mulai bertanya-tanya: apa yang membuat perokok begitu terikat pada kebiasaan mereka, bahkan saat tubuh mereka sendiri sudah memohon untuk berhenti?
Jujur, aku merasa nyaman di kamar Mawar. Selain udara yang segar, perawat dan dokter di RS Agung sangat perhatian.