Saya tidak akan jauh berangan-angan bahwa pertemuan Puan Maharani dengan Agus Harimurti Yudhoyono sebagai stasiun awal pemasangan keduanya sebagai Capres dan Cawapres 2024. Spekulasi semacam itu, selain banal juga membuat kita berpikir tidak rasional. Saya lebih tertarik menyimak bertemunya keberhasilan dua dinasti politik di negeri ini.
Puan Maharani sepertinya cukup sukses memegang separuh tongkat komando sebagai penerus sang Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri. Posisi-posisi politis strategis di negeri ini telah dia pegang. Kekuatan Puan justru semakin kuat karena jabatannya di struktural partai yang bukan sebagai ketua umum. Dengan posisi bukan sebagai ketua umum, membuat langkah Puan Maharani kian lebar dan semakin memperkokoh mentalitasnya sebagai politisi seperti ibunya, Presiden RI Kelima.
Jika menilik seluruh partai di Tanah Air, sepertinya hanya PDIP dan Demokrat yang kaderisasinya berjalan bagus dan memiliki benang merah dengan sejarah (partai). PKS meski kaderisasinya bagus namun urusan pos strutural partai, mereka rela bersikutendang dengan karibnya. Sampai saat ini, PDIP masih menjadikan Megawati sebagai tiang utama dalam struktural.
Mengalirnya darah Bung Karno dianggap sebagai pengejawantahan tertinggi untuk menerapkan nilai-nilai Marhaenisme yang menjadi spirit PDIP. Maka untuk terus menjaga spirit itu, trah Bung Karno sangat diperlukan sebagai peminpin tertinggi partai. Dan Puan Maharani sejak lama telah disiapkan untuk itu. Pos Ketua Fraksi PDIP, Menteri Koordinator Pembangunan Sumberdaya Manusia dan Kebudayaan serta kursi tertinggi DPR RI. Bagaimanapun, kekuatan utama PDIP sejak sebelum reformasi sampai saat ini berkat dihadirkannya "mitos" sosok Bung Karno di hati kader dan seluruh masyarakat Indonesia. Di masa Orde Baru, PDIP lah yang jadi penantang serius Partai Golkar setiap kali ada Pemilu.
Jika PDIP jadi antitesis Partai Golkar di masa silam, maka ketika pemilu 2004 Partai Demokratlah yang menjadi antitesis PDIP. Trik melas (Bahasa Jawa: minta belas kasihan) yang dipakai SBY waktu itu yang dianggap sebagai menteri buangan Mega berhasil mengantarkannya sebagai Presiden. Namun setelah memimpin negeri ini selama 10 tahun SBY tersadar ternyata dia belum memiliki penerus untuk memegang tongkat komando. Edhi Baskoro Yudhoyono atau Ibas yang telah duduk di DPR RI ternyata hanya memiliki dua tiga langkah politis ketika diharapkan memiliki 100 langkah.
Lagi pula, banyak yang menilai Ibas tidak sekuat yang dikira untuk menduduki kursi tertinggi partai belambang Mercy. Sementara putra sulungnya terlanjur berkarir di militer. Di tengah dilema seperti itu, posisi Ketua Umum justru lepas dari Cikeas dan beralih ke tangan Anas.
Pensiun dini dari tentara jadi konsekuensinya. Memang cukup taktis keputusan SBY menarik putra sulungnya dari kesatuan. Dengan terjun ke Pilkada DKI, mindset masyarakat akan langsung meyakini bahwa AHY merupakan politisi, apapun hasilnya. Dan momen itu adalah sekolah politik terlengkap yang sangat jarang didapat politisi negeri ini. Hanya memerlukan waktu (tumbuhnya jambang) selama tiga tahun sejak dia mengawali karir di dunia politik, AHY akhirnya resmi memegang penuh tongkat komando Partai Demokrat yang selama ini dimiliki SBY.
Perjalanan prince and princes dua partai tersebut jadi gambaran kematangan politik Megawati di PDIP dan SBY di Demokrat dengan karakter masing-masing. Namun karena kedua pernah menata mimpi di Istana, setidaknya keturunannya pun punya hak "istimewa" untuk menuju istana. Kapan? Tanyakan pada rumput yang susah bergoyang.