Mohon tunggu...
Bhaqtyfine Ahmad Habiby
Bhaqtyfine Ahmad Habiby Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa, Fakultas Hukum Universitas Airlangga

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Perubahan Makna 'Asas Keterbukaan' dalam Revisi Terbaru UU P3

2 Juli 2022   02:36 Diperbarui: 2 Juli 2022   02:40 539
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi tentang hukum (Sumber: iStockphoto)

Seperti yang kita ketahui dan sering kita dengar, Indonesia merupakan negara hukum yang mana hal tersebut sudah disebut secara jelas yang terumus dalam konstitusi Negara Indonesia UUD NRI 1945 pada Pasal 1 Ayat (3), yang menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum.” Konsep tentang negara hukum tersebut mengharuskan bahwa semua tindakan pemerintah harus berdasarkan hukum, demi terciptanya sebuah negara yang damai sejahtera yang berkeadilan dengan membatasi wewenang pemerintah dan perilaku rakyat dengan hukum. Di samping itu, Negara Indonesia juga menganut sistem hukum eropa kontinental atau civil law system yang mana artinya berdasarkan sistem hukum tersebut menyatakan bahwa hukum harus dikodifikasi atau ditulis yang menjadikan hukum di Indonesia harus dijadikan hukum tertulis. Kemudian, sebutan hukum tertulis tersebut di Indonesia disebut sebagai Peraturan Perundang-Undangan (PUU).

Peraturan Perundang-Undangan ialah suatu peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur-prosedur yang ada.

Dengan berbagai pertimbangan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat atas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, perlulah dibuat suatu peraturan mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan yang dilaksanakan dengan cara dan metode yang pasti, baku dan terstandar yang harus diikuti dan mengikat semua lembaga yang berwenang dalam membentuk suatu peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan konsideran tersebut, serta amanat dari Pasal 22A UUD NRI 1945. Maka, dibentuklah suatu Undang-Undang mengenai Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3) yang berisikan tentang prosedur dan standar yang harus diikuti oleh pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan untuk menciptakan suatu peraturan perundang-undangan yang baik.

UU mengenai Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan tersebut kemudian disahkan dan menjadi UU No. 10 Tahun 2004. Oleh karena UU tersebut masih terdapat banyak kekurangan dan sudah tidak relevan lagi, lantas kemudian UU tersebut dicabut dan diganti oleh Undang-Undang yang lebih baru yaitu UU No. 12 Tahun 2011.

Selain mengatur tentang metode, standar dan prosedur untuk menciptakan suatu Peraturan Perundang-Undangan yang baik, di dalam Undang-Undang terdapat juga beberapa asas yang harus diindahkan yang termuat pada Pasal 5, yang salah satunya ialah perihal tentang Asas keterbukaan.

Asas keterbukaan yang dimaksud, dijelaskan dalam penjelasan pasal demi pasal yang dimana “Bahwa dalam setiap Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.”

Namun, beberapa waktu lalu Presiden dan DPR telah menyetujui untuk mensahkan suatu Undang-Undang yaitu UU No. 13 Tahun 2022 Tentang Perubahan Kedua atas UU No. 12 Tahun 2011 yang dimana dalam amarnya merubah penjelasan Pasal 5 huruf (g) tentang Asas keterbukaan tersebut.

 Dalam perubahannya kini, Asas keterbukaan yang dimaksud ialah “Bahwa Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan, termasuk Pemantauan dan Peninjauan memberikan akses kepada publik yang mempunyai kepentingan dan terdampak langsung untuk mendapatkan informasi dan/atau memberikan masukan pada setiap tahapan dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang dilakukan secara lisan dan/atau tertulis dengan cara daring (dalam jaringan) dan/atau luring (luar jaringan).”

Perubahan kata dari ‘seluruh lapisan masyarakat’ menjadi ‘publik yang mempunyai kepentingan dan terdampak langsung’ jelas merubah makna dari Asas keterbukaan tersebut. Masyarakat luas kini tidak lagi dapat berpartisipasi secara bebas dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, seakan-akan kini masyarakat dibatasi oleh pemerintah untuk berpartisipasi secara langsung dalam pemerintahan terutama dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.

Keterbukaan dan partisipasi masyarakat merupakan salah satu indikator dari demokrasi dalam suatu negara berjalan dengan baik. Lantas apakah dengan perubahan makna dan pembatasan partisipasi tersebut merupakan suatu pertanda bahwa demokrasi di Indonesia kian mundur?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun