Pendidikan yang bermutu adalah dambaan setiap bangsa. Pendidikan tidak hanya bertujuan mencetak siswa yang pandai secara akademik, tetapi juga membentuk siswa yang berkarakter, kreatif, dan mampu menghadapi tantangan global.Â
Salah satu kunci penting menuju pendidikan bermutu adalah budaya literasi. Literasi bukan hanya membaca dan menulis, melainkan juga berpikir kritis, memecahkan masalah, dan beradaptasi dengan perkembangan zaman.
Di era modern ini, literasi perlu ditempatkan dalam konteks yang lebih luas mempersiapkan murid menghadapi abad 21, mendorong inovasi pembelajaran berbasis STEM, serta memperkuat sinergi antara guru, murid, dan orang tua.
Mempersiapkan Murid untuk Tantangan Abad 21
Abad 21 dikenal sebagai era informasi dan globalisasi. Tantangan yang dihadapi murid saat ini jauh berbeda dengan generasi sebelumnya. Murid dituntut untuk menguasai keterampilan 4C: critical thinking (berpikir kritis), creativity (kreativitas), collaboration (kolaborasi), dan communication (komunikasi). Semua keterampilan ini sangat erat hubungannya dengan literasi.
Saya merasakan langsung pentingnya literasi dalam mempersiapkan diri menghadapi tantangan ini. Sebagai mahasiswa teologi, saya tidak bisa hanya puas dengan membaca satu sumber.Â
Saya harus terbiasa membaca berbagai referensi, menganalisis, dan kemudian menyampaikan pemikiran dengan bahasa saya sendiri. Dari pengalaman ini, saya belajar bahwa literasi melatih saya berpikir kritis, berani mengemukakan pendapat, dan menghargai pandangan orang lain.
Jika budaya literasi benar-benar diterapkan di sekolah dan kampus, murid tidak hanya akan lulus dengan nilai baik, tetapi juga siap menghadapi tantangan kehidupan nyata: mampu menyaring informasi, mengambil keputusan bijak, dan berkontribusi bagi masyarakat.
Inovasi Pembelajaran STEM untuk Indonesia Maju
Selain keterampilan abad 21, dunia pendidikan juga menekankan pentingnya penguasaan bidang Science, Technology, Engineering, dan Mathematics (STEM).Â
Bidang ini menjadi motor penggerak kemajuan bangsa di era digital. Namun, STEM tidak bisa diajarkan hanya dengan hafalan rumus atau teori, melainkan harus melalui pendekatan literasi yang aplikatif.
Literasi STEM berarti murid diajak untuk tidak hanya tahu apa tetapi juga mengapa  dan bagaimana. Misalnya, dalam pelajaran sains, murid tidak hanya membaca teori tentang energi terbarukan, tetapi juga diajak menganalisis masalah lingkungan di sekitarnya dan mencari solusi sederhana.
Saya sendiri pernah merasakan manfaat literasi STEM ketika diminta menulis makalah tentang etika penggunaan teknologi dalam perspektif teologi. Awalnya, topik itu terasa jauh dari bidang saya.Â
Namun ketika saya membaca literatur dari berbagai disiplin ilmu teknologi, etika, dan teologi saya justru semakin terbuka bahwa pendidikan tidak boleh berjalan di ruang sempit. Literasi membantu saya menghubungkan berbagai bidang pengetahuan.
Dengan inovasi pembelajaran STEM berbasis literasi, Indonesia bisa mencetak generasi yang tidak hanya cerdas, tetapi juga mampu berinovasi. Murid diajak memecahkan masalah nyata, mengembangkan keterampilan praktis, dan menghasilkan karya yang bermanfaat bagi bangsa.
Sinergi Guru, Murid, dan Orang Tua dalam Pendidikan Bermutu
Budaya literasi tidak bisa dibangun oleh murid seorang diri. Ia membutuhkan dukungan guru, orang tua, dan lingkungan sekitar. Pendidikan yang bermutu lahir dari sinergi semua pihak.
Guru berperan sebagai fasilitator, bukan hanya pengajar. Guru perlu membimbing murid agar tidak sekadar membaca, tetapi juga memahami dan mengkritisi bacaan.Â
Orang tua berperan membangun kebiasaan literasi di rumah, misalnya dengan menyediakan buku, mendampingi anak membaca, atau berdiskusi ringan tentang topik sehari-hari. Sedangkan murid sendiri perlu belajar disiplin dan memanfaatkan setiap kesempatan untuk memperkaya wawasan.
Saya ingat ketika menulis skripsi, dukungan dari dosen pembimbing dan keluarga sangat membantu. Dosen memberikan arahan bacaan yang tepat, sementara keluarga mendukung saya dengan doa dan motivasi.Â
Sinergi itu membuat proses literasi saya tidak terasa sebagai beban, melainkan sebagai bagian dari pertumbuhan diri. Dari pengalaman itu, saya semakin yakin bahwa pendidikan bermutu hanya mungkin terwujud bila guru, murid, dan orang tua berjalan bersama.
Membangun pendidikan bermutu melalui budaya literasi adalah langkah strategis yang harus kita jalani bersama. Literasi menolong murid menghadapi tantangan abad 21 dengan keterampilan 4C, mendorong inovasi pembelajaran STEM yang aplikatif, serta memperkuat sinergi antara guru, murid, dan orang tua.
Saya percaya, jika budaya literasi benar-benar dihidupkan, maka kualitas pendidikan Indonesia akan semakin maju. Sebagai mahasiswa teologi, saya berkomitmen untuk terus menghidupi literasi dalam keseharian saya bukan hanya untuk kepentingan akademik, tetapi juga untuk membangun karakter, iman, dan masa depan. Pendidikan bermutu lahir dari pribadi yang melek literasi, dan literasi adalah jalan menuju Indonesia yang lebih cerdas dan berdaya saing.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI