Mohon tunggu...
Hukum Pilihan

Ternyata Megawati Berikan Persetujuan Penghapusan Utang Petambak Dipasena

17 Agustus 2018   19:27 Diperbarui: 17 Agustus 2018   20:06 629
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pembuktian kasus dugaan korupsi BLBI terhadap Syafruddin Arsyad Temenggung memasuki babak baru. Dalam dua minggu terakhir, tim pengacara terdakwa SAT berhasil menghadirkan saksi-saksi yang memberikan pandangan dan pembelaan yang baik dari sisi Syafruddin Temenggung.

Bukan hanya meringankan, saksi-saksi ini bahkan mengatakan dengan lugas bahwa apa yang dilakukan SAT sudah sesuai fungsinya yang saat itu memiliki mandat sebagai Kepala BPPN. Berikut beberapa fakta dari persidangan BLBI dua minggu terakhir yang saya rangkum.

Pertama, keterangan Mantan Ketua Perbanas Sigit Pramono yang disampaikannya dalam sidang BLBI dua minggu lalu, mengatakan BPPN sendiri dianggap sebagai lembaga yang tidak memperhatikan untung rugi atas dana BLBI yang disalurkan dalam krisis 1998.

Sebab, tujuan utama badan ini dibentuk adalah melakukan penyehatan perbankan. Sasarannya, bank-bank yang terkena dampak krisis. Jika dalam dunia human resources kita mengenai KPI sebagai indikator mengukur kemajuan sasaran organisasi, KPI BPPN adalah penyelesaian dan penyehatan bank-bank bermasalah. 

Kedua, dikutip dari Jawapos Bambang Kesowo, Mantan Menteri Sekretaris Negera (Mensesneg), Kabinet Gotong Royong hadir menjadi saksi meringankan untuk terdakwa SAT di PN Tipikor, Jakarta Pusat, Kamis (16/8) mengatakan Megawati menyetujui penghapusan utang PT Dipasena.

"Persepsi saya setuju. Karena beliau memaparkannya setelah institusi memberikan pandangan (Ketua KSSK: Dorojatun Kuntjoro Jakti dan Kapolri)," kata Bambang Kesowo. "Ketika presiden mengatakan 'baik itu dilaksanakan', Kata-kata seperti itu ya, ini kan sangat didominasi oleh gaya (komunikasi) presidennya," lanjutnya. Menurut Bambang, sidang itu diagendakan bukan atas permintaan Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) dan bukan dalam rangka penyelesaian kewajiban BLBI BDNI, tapi atas usulan aparat keamanan sebagai antisipasi untuk menjaga tidak meluasnya gejolak sosial saat itu.

Keterangan Bambang Kesowo ini senada dengan keterangan yang disampaikan SAT di sidang-sidang sebelumnya. SAT, melalui kuasa hukumnya berargumentasi penghapusan utang PT Dipasena sudah disetujui Megawati dalam rapat kabinet.

Namun, rentetan pengadilan BLBI selanjutnya selalu menampakkan usaha KPK untuk membuktikan bahwa SAT menyalahi kewenangannya. Atau, minimal SAT mengambil keputusan sesuai kewenangannya tapi tanpa dasar hukum yang jelas atau cacat administrasi sehingga tidak sah demi hukum. SAT terus jadi "bulan-bulanan" KPK.

KPK terus mendorong asumsi SAT mengeluarkan SKL tanpa persetujuan Megawati. Namun, Keterangan Bambang Kesowo membawa titik terang. Jika penghapusan utang PT Dipasena sudah disetujui Megawati, apa alasan SAT tidak mengeluarkan SKL? 

Ketiga, sejauh ini, yang tampak dengan jelas KPK selalu mengatakan yang bertanggung jawab dalam adanya kerugian negara adalah BDNI---karenanya yang bertanggung jawab adalah Sjamsul Nursalim. Tetapi, dalam persidangan, Yusril berhasil menunjukkan dokumen-dokumen (termasuk klausul dalam MSAA) yang mengatakan bahwa utang petani tambak Dipasena itu dijamin oleh PT DCD, bukan dijamin oleh Sjamsul Nursalim dan bukan pula dijamin oleh BDNI. 

Keempat, masalah misrepresentasi tidak lepas jadi sorotan. Dikutip dari Liputan 6 Prof. Nindyo Pramono, Guru besar hukum administrasi negara dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung mengatakan dalam satu perjanjian perdata, termasuk dalam hal ini MSAA penyelesaian BLBI oleh BDNI terjadi misrepresentasi atau tidak harus melalui keputusan pengadilan.

Karena dalam hukum perdata tidak ada dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan. Dengan begitu, lanjut Nindyo, jika belum ada putusan pengadilan, maka belum ada misrepresentasi. "Kalau belum ada putusan pengadilan, maka misrepresentasi belum terjadi," ujarnya. 

Dengan kata lain, sebelum ada putusan pengadilan, klaim-klaim ini hanya bersifat sangkaan, rekomendasi, dan tidak dapat menjustifikasi adanya misrepresentasi. Karenanya, sebelum ada keputusan pengadilan perdata mengenai misrepresentasi, misrepresentasi yang dilakukan Sjamsul Nursalim tidak pernah ada di mata hukum.

Kelima, senada dengan kesaksian Bambang Kesowo untuk SAT, Mantan Ketua Perbanas di MetroTV News menyimpulkan bahwa SAT tidak bertanggung jawab terhadap penghapus bukuan utang petambak Dipasena. Sigit Purnomo mengatakan write off dan penghapusbukuan tidak serta-merta menghapus hak tagih.

"Penghapusbukuan hanya menghapus kredit dari catatan akutansi, karena itu dampaknya baru sebatas potential lost, belum realized cost atau kerugian yang direalisasi. Penghapusbukuan hanya membuat kredit keuangan tidak tertera dalam catatan akuntansi. Itu pun bersifat potential loss lantaran hak tagih Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) terhadap kredit tersebut tetap ada."

 Menurutnya, hak tagih ini terjadi pada saat penutupan BPPN pada 2004 dan dialihkan ke PT Perusahaan Pengelola Aset (PAA) yang menampung semua aset BPPN. Sigit mengatakan, apa yang dilakukan Syafruddin merupakan langkah penyelesaian restrukturisasi perbankan yang menjadi tanggung jawab BPPN.

Kerugian baru muncul saat PT PPA melakukan penjualan aset Dipasena yang berada jauh di bawah harga perkiraannya. Jadi, jika ada kerugian akibat dijualnya aset BDNI, PT PPA-lah yang harus bertanggung jawab. 

Keenam, ada asas asersi yang dilanggar oleh BPK dalam audit BPK tahun 2017 kepada BDNI yang digunakan untuk menyeret SAT dalam kasus dugaan korupsi ini. Seperti dikutip dari Metro TV. I Gde Pantja Astawa mengatakan pemeriksaan BPK seharusnya mengonfirmasi pihak yang diperiksa sesuai asas asersi.

Astawa menambahkan, dalam satu pemeriksaan sekurang-kurangnya harus ada tiga unsur. Pertama, laporan hasil pemeriksaan (LHP) harus diterbitkan oleh lembaga berwenang, dalam hal ini BPK, karena harus diterbitkan dalam bentuk keputusan BPK. Kedua, pemeriksaan juga harus memperhatikan dan menjadikan standar pemeriksaan negara sebagai pegangan atau dasar pemeriksaan dengan segala penjelasan di standar pemeriksaan keuangan negara (SPKN). 

Dan ketiga, harus memperhatikan satu prinsip asas asersi. Asas asersi ini, kata dia, mewajibkan pemeriksa, yakni auditor, memeriksa entitas yang diperiksa. Selain itu, yang diperiksa harus dikonfirmasi tanpa melihat apa pun jenis pemeriksaan yang dilakukan BPK.

"Asas asersi ini mutlak sebagaimana diatur di Pasal 6 Ayat (5) UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK. Jadi, kalau tiga hal mendasar ini sudah ditempuh, saya katakan itulah LHP yang sah secara hukum," ujarnya. 

Ketika Yusril menanyakan di mana independensi hasil audit BPK yang diduga menggunakan sumber data dari KPK, Pantja mengatakan ia tetap berpegangan pada norma dan Pasal 31 Ayat (1) UU tentang BPK yakni BPK dan/atau pemeriksa menjalankan tugas pemeriksaan secara bebas dan mandiri."Karena marwah BPK itu ada tiga yaitu independen, integritas, dan profesional. Itu jawaban saya. Silakan dinilai," jawab dia.

Kegusaran I Gde Pantja Astawa ini bisa dimengerti.Langkah-langkah pembuktian dalam kasus BLBI memang dilakukan oleh KPK secara tidak terarah. Peluru-peluru yang dikeluarkan KPK seringkali bagai peluru "nyasar" yang ditembakkan secara asal-asalan.

Karenanya, tidak heran kalau Ketua Apindo Hariyadi Sukamdani mengatakan bahwa langkah KPK menyeret-nyeret Syafruddin Temenggung dalam kasus SKL BLBI BDNI dengan Sjamsul Nursalim sebagai Pemegang Saham Utamanya ini terkesan dipaksakan.

Karenanya, jika ada pihak-pihak yang tidak bisa dengan legowo menerima hal ini, jangan salahkan kalau akan terus-menerus ada suara dari masyarakat yang mengatakan bank-bank lain terkait kasus BLBI seharusnya juga diseret ke kursi pesakitan KPK---seperti yang dialami BDNI pada saat ini.

Ujung-ujungnya, menyelesaikan kasus BLBI bukan cuma melelahkan dan tidak esensial, kasus ini akan terus berputar-putar tanpa jelas ujung pangkal masalahnya. Goal akhirnya yang diinginkan banyak pihak, yaitu mengembalikan uang yang seharusnya jadi milik negara pun bisa dikatakan jauh panggang dari api. BLBI hanya akan selalu digunakan sebagai alat politisasi pihak-pihak yang diuntungkan saat kasus ini muncul ke permukaan.

--Penulis adalah pengamat media.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun