"Dia bosen sama gua."
"Bosen karena...? Ada orang ketiga?" Jajat menarik begitu saja majalah yang kubaca. "Ini majalah dari luar negri. Mahal. Ntar kamu naksir diambil deh."
Aku kesal sendiri. Sampe segitunya.
"Bukan. Bukan orang ketiga. Tapi, bosen karena tabungannya sudah habis. Mamanya rada streng soal duit sekarang."
"Kamu nggak berusaha mencegah atau mengajaknyadamai lagi."
"Sudah."
"Lalu?"
"Ya, dia masih tetap saja pada pendiriannya. Dua hari lagi dia minta keputusan dariku." Aku mengambil mobil mainan yang terpajang di meja belajar Jajat. "Lagian, kalau tabungannya habis dan ongkos dijatah, gua juga yang susah."
"Tu kan....," lagi lagi Jajat mengambil maenannya dari tanganku, "Kamu dari dulu tidak berubah. Di otakmu Cuma duit saja. Pacaran kamu buat bisnis. Pantas saja Rindil bosen dan minta putus."
"Itu kan dimulutnya saja," belaku dua kali sebel disebut seperti tadi. "Sebenernya dia pasti cinta berat sama gua. Foto gua aja masih ada di dompetnya."
Jajat menghentikan pekerjaannya. Dari balik kacamata minusnya, dia memandangku tidak senang. Aku pura-pura cuek.