Mohon tunggu...
Anjar Anastasia
Anjar Anastasia Mohon Tunggu... Penulis - ... karena menulis adalah berbagi hidup ...

saya perempuan dan senang menulis, menulis apa saja maka lebih senang disebut "penulis" daripada "novelis" berharap tulisan saya tetap boleh dinikmati masyarakat pembaca sepanjang masa FB/Youtube : Anjar Anastasia IG /Twitter : berajasenja

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Putus

7 Mei 2021   16:39 Diperbarui: 7 Mei 2021   16:40 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: russelloliver.co.uk

Aku resah. Gelisah. Padahal udara cukup cerah. Tapi, aku tetap gundah.

Di luar, keramaian sebuah kampong yang banyak dihuni anak kos tidak pernah berkurang. Siang malam. Suara ibu-ibu yang ngerumpi pun sepertinya tidak mau kalah. Tawa mereka sesekali  terdengar  keras. Semua tetap saja tidak bisa menghalau resah ini.

Kubalikkan badan yang terebah di kasur busa ini ke kanan-kiri. Memeluk guling, menutup muka dengan bantal atau menggeram sendirian. Segalanya sudah kulakukan. Namun, tetap saja resahku tak terhindarkan.

Sekelebat kutangkap sebentuk foto di bingkai yang tergantung di dinding. Senyum manisnya sedikit memaksa senyumku keluar juga.

Kupaksa tubuh ini berdiri dan mengambil foto itu dari pakunya. Lalu kuperhatikan lekat-lekat. Mataku tak berkedip.

Ah, Rindil. Ternyata pesonamu masih mampu membuatku terpana. Tidak pernah pudar. Seperti dulu.

Senyummu. Tawamu. Rambut indahmu. Lekuk badanmu. Perhatianmu. Deretan gigi putihmu.

Dan ..... ukh!

Kutarik nafas kesal. Kugeletakan begitu saja foto itu di karpet merah penutup lantai kamarku ini.

Aku tak akan menemui segala keindahan Rindil lagi. Semua akan berakhir. Semua akan tidak mempunyai makna lagi.

Dua hari lalu Rindil datang ke sini. Semula memang ngobrol seperti layaknya kami berpacaran. Tak lama sesudah itu dia mengucapkan kalimat yang tak pernah ku sangka. "Nok saya minta putus."

"Hah?! Gila kamu. Jangan bercanda."

"Serius. Lima rius kalo kamu belum percaya."

"Kamu ini, gak ada ujan. Gak ada panas. Kenapa tiba tiba ngomong begitu?" 

"Saya bosen."

"Bosen? Bosen kenapa?"

"Bosen sama perlakuan kamu pada saya. Bosen karena saya nggak mau kau permainkan lagi."

"Permainkan gimana?"

"Tabunganku  habis, Nok. Mama sekarang mulai perhitungan ngasi uang saku. Suka ngecek tabunganku."

"Tapi, itu kan ...."

"Saya akan datang lima hari lagi. Minta jawaban kamu."

Aku memainkan mulutku.

Kalimat-kalimat yang diucapkan Rindil tetap terngiang di telinga. Dan, itu salah satu yang membuat aku stress. Resah, gelisah seperti sekarang.

Hidupku bakal berubah total kalau Rindil sungguh-sungguh dengan apa yang dia ucapkan kemarin itu. Padahal aku belum siap. Dan, tak akan pernah siap.

Bagiku Rindil adalah segalanya. Darah nadiku. Jantung hatiku. Nafas hidupku.

Lalu ...?

****

"Loe tau, Jat. Si Rindil itu tanpaku nggak akan seperti sekarang."

"Seperti sekarang gimana?"  Jajat tetap asyik dengan pekerjaannya di layar computer. 

"Yah.., bisa menjadi gadis seperti sekarang. Terkenal, cantik, banyak dipuja, aktifis. Pokoknya semua."

"Hem... Lalu?"

"Masa dia minta putus begitu saja."

"Alasannya?" Aku mengambil majalah. Rada keki juga melihat kecuekan Jajat.

"Dia bosen sama gua."

"Bosen karena...? Ada orang ketiga?" Jajat menarik begitu saja majalah yang kubaca. "Ini majalah dari luar negri. Mahal. Ntar kamu naksir diambil deh."

Aku kesal sendiri. Sampe segitunya.

"Bukan. Bukan orang ketiga. Tapi, bosen karena tabungannya sudah habis. Mamanya rada streng soal duit sekarang."

"Kamu nggak berusaha mencegah atau mengajaknyadamai lagi."

"Sudah."

"Lalu?"

"Ya, dia masih tetap saja pada pendiriannya. Dua hari lagi dia minta keputusan dariku." Aku mengambil mobil mainan yang terpajang di meja belajar Jajat. "Lagian, kalau tabungannya habis dan ongkos dijatah, gua juga yang susah."

"Tu kan....," lagi lagi Jajat mengambil maenannya dari tanganku, "Kamu dari dulu tidak berubah. Di otakmu Cuma duit saja. Pacaran kamu buat bisnis. Pantas saja Rindil bosen dan minta putus."

"Itu kan dimulutnya saja," belaku dua kali sebel disebut seperti tadi. "Sebenernya dia pasti cinta berat sama gua. Foto gua aja masih ada di dompetnya."

Jajat menghentikan pekerjaannya. Dari balik kacamata minusnya, dia memandangku tidak senang. Aku pura-pura cuek.

"Kamu terlalu pe-de dan tidak pernah berubah, selama kamu seperti itu, nggak ada cewek yang bakal lama sama kamu."

"Ih, biarin saja. Buktinya dengan Rindil sudah hamper tiga tahun."

"Hampir. Belum genap. Itu juga mungkin terpaksa."

Aku berdiri. Ada yang mendesak mendadak dari dalam tubuh. Harus segera dikeluarkan kalau nggak mau tersiksa.

"Pokoknya gua mau mempertahankan Rindil."

"Buat apa?"

"Karena dia segalanya bagi gua. Perhatiannya, kecantikannya, kepribadiannya dan pasti duitnya...."

***

"Kamu jadi maunya apa?"

"Yah.... Bantulah aku Kis. Kamu kan temen deketnya. Bilang ke Rindil kalu aku nggak pengen putus dari dia."

"Kenapa nggak kamu coba sendiri?"

"Susah, Kis. Sepertinya dia sudah dipengaruhi orang lain."

"Maksudmu ada orang ketiga yang jadi biang masalah kalian?" Aku mengangguk mantap. Kikis diam sebentar. Dia memandangku tak percaya. Aku sendiri sudah mengubah wajahku sedemikian rupa supaya Kikis percaya dan berbelas kasih. Pokoknya demi tujuanku, aku akan berbuat apa saja.

"Masa sih Rindil selingkuh?"

"Ini hanya perkiraan, Kis," ralatku berusaha membeli sedikit, " Tapi, aku yakin pasti ada. Masa sih dia tiba tiab minta putus kalau nggak karena ada orang lain."

Cewek yang sobat deket Rindil ini mengangguk-angguk. Entah maksudnya mengerti atau malah tambah bingung.

Akh! Aku tidak peduli.

"Bagiku, Kis, Rindil itu seperti bintang yang kuingin terang terus dalam hatiku. Dan, aku akan berbuat apa saja demi dia."

"Berbuat apa saja?" Kikis mengulang kalimat kalimat belakangnya.

"Iya. Selama ini aku pontang-panting, ke sana-sini kan demi dia. Demi orang yang kucinta."

"Contohnya?"

"Sekarang dia jadi orang penting di senat. Dapet beasiswa, menang kejuaraan, aktif di organisasi. Semua aku perjuangkan demi dia seorang."

"O..., jadi pengennya kamu dapat balas jasa gitu?"

"Bukan gitu, Kis." Aku sedikit mendekatkan dudukku. "Aku Cuma nggak pengen kehilangan Rindil. Dia segalanya bagiku. Entah apa jadinya hidupku tanpa dia. Mungkin kembali menjadi orang liar seperti saat SMA dulu."

"Ah, elo. Cowok kok cengeng amat sih. Masa Cuma gara-gara cewek kamu jadi begitu. Malu dong," komentar Kikis keras.

"Yah... gimana lagi ya? Abis, Rindil benar-benar mempengaruhi hidupku sih. Susah aku jelasin."

"Gua ngerti. Tapi, bukan berarti kalau semuanya harus terjadi kamu jadi putus asa gitu dong. Tunjukan bahwa kamu cowok yang tegar. Berani ngadepin apapun. Jangan lembek. Jangan jadi pengecut cuma karena diputusin cewek."

Aku menunduk.

Dalam hati ingin ketawa juga dinasehati begitu.

"Iya deh, aku mau bantu." Kikis sepertinya kasihan juga melihatku demikian. Aku langsung menengadah kepala. "Eit. Tapi, nggak janji yah...."

Aku cuma tersenyum. Lega.

***

Aku tinggal menunggu fajar menjelang. Menunggu matahari menyambut hari baru. Sebab, aku harus mengucapkan kaliamat yang ditunggu Rindil.

Dan, saat Rindil datang nanti, kalimat itu akan meluncur lancer tanpa ragu-ragu. Aku yakin rencanaku ini berhasil. Selain karena aku punya senjata pamungkas juga karena aku punya pendukung yang sungguh membantu. Rindil pasti tidak akan tega lalu berfikir kembali dan kehidupanku pun akan terus mengalir. Nggak perlu cemas, resah atau gelisah lagi.

Tinggal bilang, Rindil datang dan mengabulkan keinginanku.

Ahhhhhh.

Indahnya hidup ini.

Benar juga kata orang bijak dulu. Cinta dapat mengalahkan segalanya. Termasuk segala yang pernah diberikan Rindil padaku. Hayalku semakin tinggi. Semakin tinggi tentang hidup yang indah ini.

Aku berusaha menenangkan diri serta mengatur jeda suaraku. Supaya bisa lebih dewasa dan bijaksana.

"Aku nggak tau harus mengatakan apa padamu, Ndil. Aku kaget. Bingung. Apa yang menyebabkan kamu sampai tega mengatakan ingin putus padaku. Aku betul-betul tidak mengerti."

"Jangan bertele-tele, Nok. To The poin saja."

Aku memandang Rindil lekat-lekat biar yang dipandang membuang muka. "Aku nggak pengen berpisah denganmu, Ndil. Sungguh. Cintaku padamu mengalahkan segalanya. Kamu sangat berarti dalam hidupku."

"Hhhh.... Percuma kamu merayu, Nok."

"Aku nggak merayu, Ndil. Ini benar benar keluar dari dasar sanubari terdalamku." Kuturunkan nada suaraku. "Aku tak tahu bagaimana hidupku tanpa dirimu. Sepi. Sendiri. Sunyi...."

"Tidak ada yang menanggung biaya hidupmu."

"Ndil!" Seruku agak keras. Gengsi juga Rindil mengatakan begitu. "Jangan begitu. Selama ini kita kan saling berbagi. Saling memberi dan menerima."

"Ninok. Ninok. Kamu ini sadar atau ngelantur?"

Aku berjalan menuju pinggir jendela. "Tidakkah kamu mau mengingat lagi perjalanan cinta selama hampir tiga tahun ini? Tentang hari yang begitu indah yang kita lalui berdua. Tentang  janji-janji dan cerita cinta. Tentang pertama kali bertemu, teman-teman yang menjodoh-jodohkan. Tentang ...."

"Aku nggak peduli, Nok!" Kali ini suara Rindil lebih keras. "Aku nggak peduli dengan gombalan sumpahmu. Kamu sudah menyusahkanku sekian lama. Menyesal sekali tiga tahun bersamamu ternyata membuatku semakin terpuruk."

"Tapi, Ndil....."

"Dengarkan aku dulu!" Rindil bertolak pinggang, tepat dihadapanku. "Aku juga nggak peduli dengan rayuanmu agar Sabar, Kikis, Dira, Amin, Ivi, dan semua teman teman yang menjodoh-jodohkan kita dulu mau mendukungmu.  Aku nggak akan terpengaruh dengan mereka yang kamu minta membelamu itu. Keputusanku Cuma satu. Putus. Titik. Nggak ada bujuk membujuk lagi." Rindil segera keluar kamarku. Sementara suara dan rayuan akhirku tak mampu menahan langkahnya. Dia berlalu begitu cepat.

Tinggal aku sendiri meratapi nasib. Nasib tentang berakhirnya angan indahku. Saat mata tak sengaja memandang kalender yang tergantung, aku baru tersadar. Sekarang tanggal 16. Tanggal terakhir melunasi uang kos. Padahal penyangga hidupku sudah pergi.

Lalu siapa yang akan membayarnya......????????

***

(Majalah HAI no 13/XXI/8 April 1997)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun