Mohon tunggu...
Benyamin Melatnebar
Benyamin Melatnebar Mohon Tunggu... Dosen - Enjoy the ride

Enjoy every minute

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Nightmare Basement

30 Agustus 2021   14:07 Diperbarui: 30 Agustus 2021   15:20 1276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mereka berusaha keluar, si ibu berlari mendekati jendela berjarak dua meter dari pintu ruang tamu dan berusaha membuka jendela. Ia tidak tega dengan apa yang akan dilakukannya, tetapi ini adalah jalan terbaik yang harus ditempuh. Ia akan melemparkan salah satu anak mereka melalui jendela mereka yang agak sempit itu. Kemudian aku mencari cara, bagaimana untuk membuka kedua pintu itu. Tetapi percuma, aku tidak bisa memegang barang – barang di sekitarku. Sepertinya aku hanyalah roh pada saat itu. Aku kasihan melihat kedua balita yang masih sangat kecil itu, mereka menangis karena temperatur di dalam rumah itu sangat panas. Kami hampir mendidih di dalam sana. Aku semakin frustasi. Kobaran api semakin besar.

Seketika aku mendengar ledakan dari belakang rumah itu. Sepertinya kompor meledak. Ledakan itu menjalar sampai ke depan. Sepertinya tidak ada harapan. Aku mulai panik, berusaha melihat ke berbagai arah. Adakah ruangan terbuka untuk kami keluar dari sini. Tetapi, sepertinya untung tak dapat diraih, malang tak dapat di hindari. Seketika itu juga kayu - kayu atap rumah mulai berjatuhan dan menimpa sang ayah dan balita dalam dekapannya. Sang ibu yang melihat, langsung berteriak, “ tidakkkk.” Ia menangis sejadi-jadinya. Lalu mulai duduk di pojokan ruang tamu sambil mendekap balita satunya. Sepertinya ia berpasrah pada keadaan. Apabila suami dan anaknya yang satu sudah meninggal. Apalah yang ingin di lakukannya. Ia membiarkan dirinya di hadang api dan membiarkan tubuhnya terbakar api. Ia berpasrah dan menerima kenyataan bahwa nyawa keluarganya harus berakhir dengan cara mengenaskan seperti ini. Aku terperanjat kaku melihat kejadian itu terjadi di depanku. Lalu aku tiba - tiba tersadarkan diri dan melihat Roni. Batu nisan yang kami lihat itu adalah batu nisan atas satu keluarga yang meninggal akibat kebakaran.

Aku bertanya pada Roni, bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi. Bagaimana aku bisa mendapatkan penglihatan itu. Roni berkata padaku, “ aku hanya sebagai mediasi, tetapi kamu sudah mempunyai bakat itu.” Aku terperanjat dengan kata - kata itu. Bagaimana Roni bisa tahu kalau aku bisa melihat mahkluk - mahkluk halus dan dengan bantuannya aku bisa mendapatkan penglihatan sebuah keluarga yang mengalami kebakaran. Kejadian itu terngiang sangat jelas dalam benakku, Roni sepertinya sudah tahu apa yang harus dilakukannya. Apakah ia ingin merencanakan sesuatu padaku. Apa sebenarnya yang ia ingin lakukan.  Kami berjalan agak jauh menuju hutan belantara. Lalu ia mengajakku untuk kembali ke rumah. Aku mengatakan baiklah, tetapi aku tidak ingat untuk berjalan pulang. Roni berkata, “ tenang aku ingat kok. ” Kami berjalan kira-kira 55 menit lamanya. Dan sampailah kami di depan rumah Roni.           

Roni, kemudian berlari ke arah rumahnya dan berkata bahwa ia harus mengantar rantangan makanan untuk ayahnya di Sawah. Baiklah, kalau begitu aku akan kembali ke rumahku. Aku berteriak, “ sampai ketemu besok! “

Jawab Roni, “ Ok. ” sambil menunjukkan jempolnya.

Kelihatannya di rumah Roni agak ramai. Apakah orang tua Roni akan mengadakan acara di rumahnya? Pikirku. Seorang wanita mengenakan celana panjang pensil dengan t-shirt kuning menuju ke arah pintu. Pasti ia adalah budenya Roni, pikirku. Wajahnya agak menyeramkan sepertinya ia sedang marah. Lalu kuperhatikan sekeliling rumah Roni, sedang ada renovasi. Dan bisa melihat dengan jelas dari jendela samping rumah Roni. Bila kuhitung ada tiga orang kuli bangunan yang sedang mengerjakan rumah Roni. Aku mendengar pembicaraan mereka dan saat mereka berineraksi memanggil nama satu sama lain. Kalau bisa aku konklusikan, Maman adalah pemimpin pembangunan rumah Roni. Ia berwajah sangar dan memiliki kumis tebal. Tugasnya mengawasi pekerja untuk bekerja. Ia terlihat sangat mencurigakan dan sering hilir mudik di depan kamar yang paling besar, sepertinya itu adalah kamar orang tua Roni. Tidak tahu apa yang sedang di rencanakan Maman. Kuli yang kedua bernama Ridwan, Ia bertubuh besar agak gempal dan kulitnya gelap dan kuli yang ketiga adalah Dodi, tubuhnya atletik, di bagian pipinya ada bekas codetan dan di tangan kanannya ada lima bekas sayatan. Intinya mereka terlihat seperti segerombolan penjahat bila dilihat dari kulit luarnya. Dan jelas - jelas tidak terlihat seperti kuli bangunan. Rumah Roni saat ini, adalah rumah yang paling megah dan terindah di desa ini. Aku tidak tahu, bila rumahnya akan di renovasi lagi, pasti akan menyerupai istana super megah di tengah pemukiman desa yang sederhana ini. Dan bila kuperhatikan dengan jelas, perabotannya adalah barang - barang mahal. Di depan halamannya saja, berjejeran tiga buah mobil mewah bila menilik bahwa pemilik mobil-mobil mewah ini adalah penghuni sebuah desa terpencil. Mereka pasti sangat kaya, pikirku.


Saat Roni masuk ke dalam rumahnya, aku menyadari bahwa ketiga kuli bangunan itu tidak menyukainya. Aku berjalan melewati rumahnya di bagian samping, ada sebuah kandang ayam dan bebek yang berdekatan dengan empang, tanaman tumbuh subur di beberapa titik yang menambah keasrian rumah Roni yang mentereng. Kemudian aku memperhatikan dengan detail dari jendela tentang kondisi di dalam rumahnya. Aku melihat Roni keluar membawa rantangan dan menuju ke sawah. Ia terlihat senang. Mungkin karena akan bertemu dengan ayahnya.

Aku kemudian melihat seorang wanita berkerudung merah yang aku taksir pasti ibunya Roni. Berjalan dari arah dapur menuju ruang tamu, ia duduk di ruang tamu dan memulai percakapan dengan wanita yang memakai t-shirt kuning dan celana pensil yang kuduga Budenya Roni. Mereka terlibat pada sebuah pertengkaran yang sengit. Wanita yang berkerudung merah memaki-maki wanita ber t-shirt kuning sambil memegang rokok di tangan. Dan wanita yang ber t-shirt kuning, menunjuk – nunjuk wanita berkerudung merah dengan jarinya. Dan sesekali membalas dengan makian yang lebih pedas. Tidak dapat kubayangkan, sudah seperti neraka. Lebih dari lima belas menit mereka saling mengucapkan umpatan dan makian yang pedas. Aku saja yang tidak terlibat dalam percakapan ini merasa tidak tahan mendengarnya, bagaimana mereka bisa bertahan, pikirku.  Entahlah apa yang mereka ributkan, tetapi sepertinya sangat serius. Yah begitulah orang dewasa, selalu menanggapi segala sesuatu serius. Aku tidak ingin menanggapinya, aku kembali menyusuri jalan setapak menuju rumahku.    

Aku masuk ke rumahku, menutup lalu mengunci pintu ruang tamu. Kulihat sejenak lukisan Monalisa yang terpampang di ruang tamu. Wajahnya cantik tapi menurutku sedikit menakutkan, dari pandanganku sepertinya mulutnya berkomat – komit. Sungguh menyeramkan bila hal itu sampai terjadi. Aku tidak tahu apakah ini ilusiku saja atau tidak. Perlahan aku menyusuri lorong rumahku. Ornamen – ornamen dari beberapa daerah seperti pernak – pernik suku Asmat, miniatur rumah Gadang ala Minangkabau dan perahu dari Maluku yang terbuat dari cengkeh. Menghiasi dinding sebelah kiri sepanjang lorong rumahku dan menonjolkan unsur – unsur mistik yang seolah – olah ingin menambah kalutnya perasaan yang tidak menentu akibat kejadian – kejadian aneh yang kualami sejak kepindahan kami ke desa ini. Keramik – keramik oriental dan Arabic seolah ikut mengundangku untuk melihatnya lebih lama. Semakin kuperhatikan ornamen – ornamen dan keramik bernilai sejarah itu, terkadang membuatku takut. Benda – benda tak hidup itu menjadi saksi bisu atas kejanggalan yang terjadi di kediaman kami.

Aku berjalan menuju ruang makan, ingin mencari makanan dingin di kulkas. Setelah panas yang kurasakan, teriknya matahari siang saat diriku bermain dengan Roni teman baruku. Aku membuka kulkas dan mengambil satu buah apel merah dan berjalan kembali menyusuri lorong menuju ruang tamu sambil menghabiskan apel merah kesukaanku, tanpa sengaja aku melihat seperti ada sesosok manusia sedang terseok-seok di ruangan tamu. Rambutnya menutupi hampir seluruh wajahnya. Aku seketika lemas, karena tidak percaya dengan apa yang kulihat. Tetapi, ketika kudekati justru bayangan itu tidak ada. Aku berlari dan menaiki anak tangga menuju kamarku. Aku terjatuh dan terguling ke bawah lantai. Sosok itu muncul di mataku, ia basah dengan tubuh membiru dan kaku. Aku berteriak kepadanya, “ pergi dan jangan ganggu aku. “ Ia menatapku dengan tatapan kosong. Dari mata dan hidungnya keluar air. Air itu memenuhi seluruh lorong. Aku takut setengah mati. Aku bangkit dan berusaha sekuat tenaga menaiki anak tangga, membuka kamarku dan membanting diriku di atas tempat tidur dan menarik selimutku hingga menutupi wajahku. Aku lemas, jari-jariku gemetar dan lututku terasa ngilu dan sakit karena berbagai kejadian yang aneh dan beberapa kali melukai tubuhku. Kali ini tidak main-main, penunggu rumah ini benar – benar ingin meunjukkan arwah mereka pada diriku. Apa sebenarnya maksud dari semua ini.

Ranting - ranting pohon menggesek jendela kamarku, kupandangi awan dari dalam kamarku. Kudengar burung hantu bernyanyi mengeluarkan suaranya yang khas dan sangat menakutkan. Rupanya, matahari sudah hampir tenggelam, tapi ayah belum pulang juga. Aku menarik kembali selimutku. Aku tertidur sudah cukup lama, aku tidak bisa tidur lagi. Aku kemudian masuk ke kamar mandi. Waktu mandiku hanya membutuhkan 15 menit saja. Aku keluar kamar mandi mengambil handuk dan mengeringkan tubuhku di kamar mandi. Aku mengambil baju bersih dan melempar baju kotorku di tempat keranjang pakaian kotor. Tiba – tiba perutku berbunyi, aku merasa lapar sekali. Aku menuruni anak tangga dan kulihat tidak ada air sama sekali di lorong. Berarti aku tadi hanya mimpi lagi. Gila, pikirku. Aku menuju ruang makan. Aku mengambil sisa satu telur mata sapi dan menyendok nasi putih dari rice cooker. Aku mengambil sambal botol melumuri kuning telur dan menyantapnya dengan lahap. Tiba – tiba kudengar kembali suara tangisan anak kecil.

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun