Mohon tunggu...
Benny Wirawan
Benny Wirawan Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Mahasiswa kedokteran dan blogger sosial-politik. Bisa Anda hubungi di https://www.instagram.com/bennywirawan/

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Ketika Nyawa ODHA Diberi Label Harga

18 Januari 2019   14:07 Diperbarui: 18 Januari 2019   20:26 1782
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: antaranews.com

Tahun 2014 orang dengan HIV/AIDS di Indonesia mendapat kabar bahagia. Obat antiretrovirus (ARV) yang penting untuk pengobatan mereka akhirnya diproduksi dalam negeri. PT Kimia Farma telah resmi mampu produksi sendiri obat vital ini. Indonesia tak lagi tergantung impor ARV dari India.

Percepat waktu empat tahun ke depan. Desember 2018 kabar bahagia itu berubah menjadi nestapa. Ternyata selama ini PT Kimia Farma dan PT Indofarma, satu-satunya perusahaan farmasi yang memproduksi ARV domestik, menjual ARV tiga hingga empat kali harga pasar internasional. 

ARV jenis fixed drug combination (FDC) tenofovir, lamivudin, efavirenz (TLE) dijual ke pemerintah seharga Rp 385 - 405 ribu per botol untuk satu bulan pemakaian. Harga ini jauh di atas pasaran internasional yaitu Rp 110 ribu hingga Rp 112 ribu.

Ketika pemerintah berusaha menekan harga dalam tender pengadaan tahun 2018, tidak tercapai kata sepakat dengan kedua perusahaan farmasi plat merah ini. Akhirnya pengadaan TLE dengan APBN kandas. 

Pengadaan darurat TLE akhirnya didatangkan dari India dengan sokongan dana donor Global Fund karena penggunaan APBN terbatas secara hukum. Saat ini stok TLE hanya tersedia hingga Maret 2019. Walau pemberitaan jarang, negara kita sedang dilanda krisis ARV.

Untuk memberi konteks pentingnya ARV, terutama FDC TLE, kita harus mengerti beberapa hal mendasar mengenai HIV/AIDS. Walaupun tidak bisa menyembuhkan, ARV sangat bermanfaat dalam mengontrol keparahan penyakit HIV/AIDS bagi penderitanya. 

ARV menekan jumlah virus dalam darah ODHA, memberi kesempatan bagi sistem kekebalan tubuh untuk pulih. Putus ARV secara mendadak dalam jangka waktu lebih dari 1-2 hari dapat menimbulkan resistensi obat, perburukan klinis, dan infeksi oportunistik. Intinya, keadaan penderita akan memburuk dan bahkan dapat menimbulkan manifestasi klinis HIV/AIDS yang mengancam nyawa, tergantung keadaan pasien saat putus obat.

Lalu apa pentingnya kelangkaan TLE? Bukankah TLE hanya salah satu jenis ARV, ada alternatif lain? Memang benar TLE 'hanya' dikonsumsi 42 ribu dari sekitar 95 ribu ODHA yang sedang dalam pengobatan. Akan tetapi FDC, yang mana TLE merupakan yang paling sering dipakai, memiliki keuntungan efisiensi dibandingkan ARV jenis lepasan.

Untuk diketahui, seorang ODHA harus minum obat minimal 3 jenis untuk mengontrol penyakitnya. Bayangkan Anda harus minum obat 3 jenis tiap harinya. Belum lagi minum obat-obatan untuk infeksi oportunistik lain yang Anda derita sebagai ODHA. Obat-obatan ini sering kali obat keras yang menimbulkan efek samping sangat tidak nyaman: mual, muntah, insomnia, dan lain-lain. 

Maka, seorang ODHA juga minum obat untuk memperingan efek samping dari obat-obatan yang sudah disebutkan duluan. Tak jarang seorang ODHA harus mengkonsumsi 5-7 jenis obat sehari. Bisa lebih. Tak heran masalah putus obat, karena bosan atau tak tahan, menjadi masalah besar bagi pengobatan ODHA.

Keberadaan FDC sangat menyederhanakan pengobatan ODHA. Alih-alih meminum 3 jenis pil seorang penderita cukup meminum sebuah tablet atau caplet yang mengandung 3 jenis obat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun