Rumah bukan sekadar bangunan fisik. Ia adalah ruang kehidupan, tempat lahirnya harapan, sekaligus fondasi bagi tumbuhnya generasi. Di balik dinding rumah yang kokoh, anak-anak mendapatkan kenyamanan belajar, keluarga menemukan ketenteraman, dan masyarakat memiliki dasar untuk membangun masa depan. Namun, realitas menunjukkan masih banyak keluarga Indonesia yang belum memiliki rumah layak. Backlog perumahan bahkan tercatat mencapai hampir 9,9 juta unit keluarga.
Untuk menjawab persoalan itu, pemerintah menggulirkan Program 3 Juta Rumah, sebuah langkah strategis yang dirancang bukan hanya untuk mengurangi angka backlog, tetapi juga meningkatkan kualitas hidup rakyat. Program ini mencakup pembangunan 1 juta rumah baru di perkotaan, renovasi 2 juta rumah tidak layak huni di desa, serta penyediaan hunian adaptif di kawasan pesisir.
APBN: Jantung Pembangunan Hunian Rakyat
Di tengah keterbatasan akses masyarakat berpenghasilan rendah terhadap pembiayaan rumah, APBN hadir sebagai tulang punggung utama. Pada tahun 2025, pemerintah mengalokasikan sekitar Rp18,8 triliun untuk program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP). Dana ini memungkinkan ratusan ribu keluarga menikmati akses pembiayaan rumah dengan bunga rendah sekitar 5 persen dan tenor hingga 20 tahun.
Seiring perjalanan, target program ini ditingkatkan. Pemerintah menaikkan kuota FLPP menjadi 350 ribu unit rumah, dengan anggaran melonjak hingga Rp35,2 triliun. Jika ditambahkan dengan dukungan lain, seperti Penyertaan Modal Negara (PMN) kepada PT Sarana Multigriya Finansial (SMF) sebesar Rp6,7 triliun serta subsidi uang muka Rp5,5 triliun, total pembiayaan perumahan rakyat melalui APBN tahun ini mencapai sekitar Rp47,4 triliun.
Dan APBN bukan hanya soal nominal anggaran, tetapi juga menjadi instrumen kebijakan yang sinkron dengan kebijakan moneter untuk memastikan stabilitas pembiayaan dan keberlanjutan program.
Sinergi Multipihak: Negara Tidak Bisa Sendiri
Progam membangun jutaan rumah ini tentu tidak dapat dipikul oleh negara sendiri. Keterlibatan BUMN perbankan, seperti BRI yang menyalurkan KPR subsidi melalui FLPP dan Tapera senilai Rp2,92 triliun, menunjukkan bahwa sektor swasta memiliki peran penting dalam memperluas jangkauan program.
Lebih dari itu, pemerintah melalui Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) selaku pelaksana Program 3 juta Rumah juga menjajaki kerja sama dengan lembaga internasional seperti Bank Dunia. Kolaborasi ini membuka peluang pendanaan tambahan sekaligus memperkuat kapasitas monitoring dan evaluasi. Inilah wajah pembangunan modern: kerja kolektif lintas sektor dengan APBN sebagai pengarah utama.
Dampak Sosial dan Ekonomi
Program ini tidak hanya menjawab kebutuhan dasar perumahan. Ia membawa dampak luas bagi perekonomian. Setiap rumah yang dibangun berarti tenaga kerja konstruksi terserap, industri bahan bangunan lokal bergerak, dan ekonomi daerah ikut berdenyut.
Bagi masyarakat, rumah layak berarti kualitas hidup yang lebih baik. Anak-anak bisa belajar dengan tenang, orang tua lebih sehat karena tinggal di lingkungan dengan sanitasi memadai, dan keluarga memiliki modal sosial untuk keluar dari lingkaran kemiskinan. Hunian layak, dengan demikian, adalah investasi jangka panjang bagi pembangunan manusia Indonesia.
Tantangan dan Jalan Panjang
Meski dukungan APBN cukup signifikan, tantangan tetap besar. Backlog perumahan yang menahun memerlukan strategi berlapis: pembiayaan inovatif, efisiensi birokrasi perizinan, serta dukungan pemerintah daerah dalam penyediaan lahan dan infrastruktur dasar. Tanpa sinergi pusat dan daerah, target 3 juta rumah akan sulit tercapai tepat waktu.
Selain itu, pemerintah perlu memastikan pembangunan rumah layak tidak hanya berfokus pada jumlah, tetapi juga kualitas, keberlanjutan lingkungan, dan keterjangkauan bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Rumah untuk Keadilan Sosial
Program 3 juta rumah adalah manifestasi nyata kehadiran negara dalam mewujudkan sila kelima Pancasila: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Melalui APBN, negara tidak hanya menggelontorkan dana, tetapi juga mengarahkan kebijakan, menggerakkan mitra swasta, dan mengundang kolaborasi internasional demi satu tujuan: agar setiap keluarga Indonesia dapat memiliki hunian yang layak dan bermartabat.
Setiap rumah yang berdiri adalah simbol bahwa pembangunan tidak meninggalkan rakyat kecil. Bila rumah adalah tiang peradaban, maka keberhasilan program ini akan menjadi warisan penting yang membekas dalam perjalanan bangsa menuju Indonesia yang lebih adil dan sejahtera.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI