Dalam dinamika pembangunan nasional, desa kerap dipandang hanya sebagai objek, bukan subjek perubahan. Padahal, sejarah mencatat, kekuatan bangsa ini selalu bertumpu pada denyut kehidupan desa. Dari sawah yang menghidupi kota, hingga tradisi gotong royong yang menjadi perekat sosial. Namun, ketika modernitas datang, masalah mendasar seperti sanitasi masih menjadi pekerjaan rumah yang kerap terabaikan.
Desa Kesambi di Kecamatan Mejobo, Kudus, Jawa Tengah, menjadi contoh nyata bagaimana isu sanitasi---yang sering dianggap sepele---menjadi kunci bagi kualitas hidup masyarakat. Selama bertahun-tahun, sungai di desa ini digunakan sebagai tempat pembuangan hajat. Tradisi turun-temurun itu berlangsung tanpa disadari membahayakan kesehatan, sebab sungai yang sama menjadi sumber air sumur warga. Ironisnya, banyak warga masih menganggap kebiasaan itu wajar. "Saya sudah 40 tahun buang tinja di pinggir kali, masih sehat-sehat saja," begitu suara yang kerap terdengar sebelum program sanitasi digulirkan.
Namun, kebiasaan bukanlah takdir. Dari desa inilah lahir kisah perubahan yang membuktikan bahwa bangsa bisa bangkit jika akar persoalan ditangani dengan kesungguhan.
Perubahan besar sering berawal dari figur sederhana. Adi Prasetyo---akrab disapa Doyok---seorang tukang las, dipercaya memimpin Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) Tirta Saras. Bagi Doyok, sanitasi bukan hanya soal jamban dan septic tank, melainkan soal menyelamatkan generasi. "Mengubah perilaku itu kan mengubah mindset atau pola pikir. Itu paling berat," ujarnya.
Apa yang dihadapi Doyok dan Kepala Desa Mokhamad Masri bukan sekadar pembangunan fisik, melainkan revolusi mental. Bagaimana membuat masyarakat yang sudah puluhan tahun nyaman dengan kebiasaan lama, bersedia menerima cara hidup baru? Bagaimana meyakinkan mereka bahwa membuang tinja di sungai sama dengan meracuni anak-anak mereka sendiri?
Jawabannya adalah pendidikan dan pendekatan kultural. Tidak cukup hanya membangun infrastruktur, tetapi perlu menyentuh hati dan keyakinan. Spanduk edukasi dipasang, tokoh agama dilibatkan, dan forum jam'iyah dimanfaatkan sebagai ruang penyadaran. Dari ruang inilah lahir pemahaman baru: menjaga lingkungan berarti menjaga diri sendiri.
Kolaborasi: Pemerintah, Warga, dan Lintas SektorÂ
Perubahan di Desa Kesambi tidak mungkin tercapai tanpa kolaborasi. Pemerintah desa bersinergi dengan camat, kapolsek, dan dukungan mitra swasta. Pendekatan hukum bahkan digunakan, agar warga memahami bahwa pencemaran sungai bisa berimplikasi pidana.
Djarum Foundation, melalui program CSR-nya, turut hadir memberikan pendampingan dan dukungan. Pembangunan jamban sehat, septic tank tertutup, serta penyediaan air bersih menjadi langkah konkret. Program ini bukan sekadar proyek, melainkan gerakan bersama yang menumbuhkan rasa memiliki di kalangan warga.