Setiap akhir pekan, mal-mal besar di kota-kota besar Indonesia, seperti Jakarta, Surabaya, Makassar, Medan, Bandung, dan lainnya berubah menjadi arena rekreasi massal. Tempat parkir penuh, antrean panjang di lift dan eskalator, serta deretan restoran yang tampak ramai. Namun, di balik hingar-bingar itu, ada kenyataan yang mencemaskan: omzet ritel di banyak mal justru stagnan, bahkan menurun.
Fenomena ini bukanlah isapan jempol. Pelaku usaha ritel kerap mengeluhkan banyaknya pengunjung yang hanya datang untuk "window shopping", berswafoto, atau sekadar mencari kesejukan dari pendingin udara pusat perbelanjaan. Dua istilah populer pun muncul dari realitas ini: Rohana (Rombongan Hanya Nanya) dan Rojali (Rombongan Jarang Beli). Istilah ini menggambarkan kelompok konsumen yang aktif hadir di mal, tetapi pasif dalam transaksi.
Ketika Gaya Hidup Menggeser Niat Belanja
Apa yang sebenarnya terjadi di balik dominasi Rohana dan Rojali? Munculnya mal sebagai pusat rekreasi alih-alih pusat perbelanjaan adalah salah satu penyebab utamanya. Mal telah berevolusi dari tempat konsumsi barang menjadi ruang sosial yang multifungsi---tempat bermain anak, nongkrong, bertemu klien, bahkan olahraga.
Ini sejalan dengan tren global, terutama di kota-kota besar, di mana konsumsi bergeser dari ownership (kepemilikan) menjadi experience (pengalaman). Kalangan muda urban lebih suka membeli kopi Rp60.000 dan menikmati suasana kafe Instagramable, dibanding membeli sepatu atau baju baru yang belum tentu rutin dipakai.
Tentu saja ini bukan kesalahan pengunjung. Namun, pergeseran motivasi tersebut memengaruhi struktur ekonomi ritel secara mendalam. Toko-toko konvensional yang mengandalkan penjualan barang menjadi korban utama.
Ekonomi Sosial dalam Bingkai Konsumsi
Fenomena Rohana dan Rojali juga bisa dibaca dalam konteks daya beli masyarakat. Pandemi Covid-19 dan dampaknya terhadap perekonomian masih membekas. Kenaikan harga bahan pokok, tekanan biaya pendidikan, hingga cicilan kredit membuat banyak orang menunda belanja non-esensial.
Di sisi lain, eksistensi sosial tetap penting. Maka, hadir ke mal menjadi simbol partisipasi dalam gaya hidup urban, meskipun dompet tidak turut serta dalam transaksi.
Ada pula faktor psikologis: berada di tengah keramaian memberi ilusi keterhubungan sosial, sementara interaksi digital kian mendorong budaya pamer visual. Maka berfoto di depan toko mewah atau makan di tempat yang "aesthetic" bisa memberikan "kepuasan sosial" meski tak ada barang yang dibeli.