Angka 555 mungkin biasa bagi kebanyakan orang. Tapi bagi saya, ini adalah angka penuh makna: sebuah penanda perjalanan literasi digital yang personal, mendalam, sekaligus penuh kejutan. Lima ratus lima puluh lima tulisan. Tertulis, terbit, dan terbaca di Kompasiana. Dari satu tulisan yang penuh keraguan, kini menjadi ratusan tulisan yang penuh keyakinan. Semuanya bermula dari keberanian menekan tombol "jadwalkan" untuk pertama kalinya.
Saya bergabung dengan Kompasiana pada 11 Desember 2022. Namun saat itu, saya bukan siapa-siapa. Hanya pengamat. Penikmat sunyi. Saya membaca tulisan demi tulisan para kompasianer yang begitu beragam: dari fiksiana yang imajinatif, opini tajam seputar isu sosial, hingga kisah perjalanan yang membumi dan penuh inspirasi. Mereka berbagi, menyapa, dan mencatat sejarah kecil mereka dalam dunia digital.
Saya membaca dan merenung. Saya belum punya keberanian menulis. Sampai akhirnya, tanggal 10 Juli 2024, saya memberanikan diri untuk menerbitkan tulisan perdana berjudul Digitalisasi Keuangan: Peningkatan Adopsi Teknologi Keuangan dan Dampaknya pada Sistem Keuangan Tradisional. Tulisan yang lahir dari kegelisahan sekaligus rasa ingin tahu tentang masa depan keuangan di era digital. Sebuah langkah kecil, tapi sangat berarti.
Menulis sebagai Jalan Sunyi yang Ramai
Setelah tulisan pertama itu, saya seperti menemukan rumah yang nyaman di Kompasiana. Saya mulai menulis berbagai tema, menjelajahi kategori demi kategori: dari fiksiana yang memberi ruang berimajinasi, halo lokal yang membumikan isu di sekitar kita, hingga money yang menggugah kesadaran literasi keuangan publik. Saya mencoba humaniora, inovasi, vox pop, video, bahkan travel story. Tiap kategori seperti ruang kelas yang berbeda, mengajarkan saya banyak hal.
Menulis di Kompasiana bukan sekadar urusan gaya atau sensasi viral. Lebih dari itu, menulis adalah praktik keberanian. Keberanian untuk menyampaikan opini secara terbuka. Keberanian untuk menyuarakan yang mungkin selama ini diam. Dan keberanian untuk menghadapi kritik, agar tulisan menjadi lebih tajam dan jernih.
Saya tidak pernah menyangka, perjalanan ini akan membawa saya pada pencapaian yang begitu berarti: centang biru di Kompasiana. Sebuah penanda kepercayaan dan konsistensi. Tapi lebih dari itu, saya belajar bahwa menulis bukan soal status. Menulis adalah soal komitmen: kepada diri sendiri, kepada pembaca, dan kepada kebenaran yang ingin dibagikan.
Kompasiana sebagai Ruang Demokrasi Narasi
Di tengah derasnya arus informasi yang kadang menyesatkan, Kompasiana hadir sebagai oase literasi digital. Ia bukan sekadar platform. Ia adalah ruang demokrasi narasi. Di sini, siapa pun bisa menjadi penulis, penyaksi zaman, bahkan penggerak perubahan. Tak perlu gelar wartawan. Tak perlu latar jurnalis. Yang dibutuhkan hanya satu: niat berbagi dan kesadaran akan tanggung jawab narasi.
Selama menulis artikel sampai yang ke 555 ini, saya menyaksikan sendiri bagaimana Kompasiana menjaga keberagaman, mempromosikan orisinalitas, dan mengapresiasi gagasan yang jernih. Moderasi yang adil, komunitas yang aktif, dan penghargaan yang tepat sasaran membuat Kompasiana tetap menjadi ruang literasi digital yang sehat dan progresif.