Mohon tunggu...
Benny Eko Supriyanto
Benny Eko Supriyanto Mohon Tunggu... Aparatur Sipil Negara (ASN)

Hobby: Menulis, Traveller, Data Analitics, Perencana Keuangan, Konsultasi Tentang Keuangan Negara, dan Quality Time With Family

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Kerja Bareng Saudara atau Orang Lain? Ini Realitas, Bukan Sekedar Ikatan Darah

24 Juli 2025   10:05 Diperbarui: 24 Juli 2025   10:19 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi:  Kerja bareng saudara terdengar ideal, tapi benarkah lebih mudah? Ini dilema klasik yang tak semua keluarga sanggup menanggungnya. (Foto: Freepik.com)

Dalam budaya Timur, terutama di Indonesia, bekerja atau membangun usaha bersama keluarga sering dianggap pilihan paling aman dan menjanjikan. Ada kepercayaan bahwa darah lebih kental daripada air; bahwa saudara pasti lebih bisa dipercaya daripada orang lain. Tapi benarkah kenyataannya sesederhana itu?

Pertanyaan klasik "lebih baik kerja bareng saudara atau orang lain?" kerap kali muncul ketika seseorang ingin memulai bisnis, merintis lembaga sosial, atau sekadar membentuk tim kerja dalam proyek jangka panjang. Jawabannya tidaklah hitam putih. Justru, dalam banyak kasus, kerja bareng saudara bisa menjadi arena konflik yang jauh lebih kompleks daripada kerja dengan orang asing sekalipun.

Ikatan Emosional vs. Etika Profesional

Bekerja dengan saudara memang memiliki satu keuntungan besar: kepercayaan. Kita cenderung merasa aman menyerahkan aset, rencana bisnis, atau bahkan rahasia keuangan kepada orang yang kita kenal sejak kecil. Namun, justru di sinilah jebakannya. Ikatan emosional sering kali membuat batas profesional menjadi kabur. Apa yang tidak bisa ditoleransi dari rekan kerja biasa, seringkali dimaklumi jika dilakukan oleh saudara sendiri---meskipun merugikan.

Sebaliknya, kerja dengan orang lain yang bukan saudara menuntut kita untuk sejak awal membangun kesepakatan profesional yang lebih jelas. Ada kontrak, ada pembagian peran, ada tanggung jawab yang didasarkan pada kompetensi, bukan kedekatan emosional. Kerap kali justru dalam situasi ini, akuntabilitas lebih tinggi karena semua pihak tahu bahwa hubungan kerja tidak bisa diselamatkan hanya dengan kata "maaf, kita kan saudara".

Seringkali, Keluarga Tak Siap Hadapi Sukses

Uniknya, bukan kegagalan yang seringkali memicu konflik dalam kerja keluarga, melainkan kesuksesan. Ketika bisnis mulai menghasilkan, ketika keuntungan mulai meningkat, ketika nama besar mulai diperbincangkan, barulah semua merasa berhak mengambil peran lebih besar. Muncullah kecemburuan, ketimpangan pembagian, hingga sindrom "aku juga punya andil meski tak aktif".

Dalam kerja dengan orang lain, keberhasilan lebih mudah dinilai objektif: siapa bekerja apa, kontribusinya apa, dan hasilnya seberapa besar. Namun dalam kerja dengan saudara, semua bercampur: kontribusi kerja dicampur dengan sejarah keluarga, pengorbanan masa lalu, atau bahkan klaim atas nama keluarga besar.

Potret Nyata Bisnis Keluarga di Indonesia

Sejumlah bisnis besar di Indonesia lahir dari kolaborasi keluarga: dari kelompok usaha ritel, kuliner, hingga properti. Namun tidak sedikit pula yang kemudian retak karena konflik internal. Pewarisan tidak jelas, pembagian saham tidak transparan, hingga urusan rumah tangga ikut terbawa ke rapat direksi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun