Sebagai seorang jurnalis, Foer percaya bahwa jalan keluar dari jebakan ini bukan dengan menolak teknologi, tetapi dengan mengembalikan peran manusia sebagai makhluk berpikir. Ia menyerukan perlunya jurnalisme independen, etika dalam penyajian informasi, dan regulasi yang adil terhadap perusahaan teknologi.
Literasi kritis juga menjadi kunci. Masyarakat harus didorong untuk memahami bagaimana algoritma bekerja, menyadari bahwa apa yang mereka lihat di layar bukanlah cermin netral dunia, melainkan hasil kurasi dengan tujuan ekonomi dan politis tertentu. Tanpa pemahaman ini, kita hanya akan menjadi konsumen pasif dalam dunia yang dikendalikan oleh pikiran mesin.
Relevansi Bagi Indonesia
Indonesia sebagai negara dengan pengguna internet aktif terbesar di Asia Tenggara juga tengah menghadapi dilema serupa. Pengaruh media sosial terhadap politik, pendidikan, hingga pola konsumsi sudah sangat terasa. Di tengah literasi digital yang masih rendah, risiko dunia tanpa pikiran kian nyata. Oleh karena itu, buku ini menjadi penting dibaca oleh siapa saja yang peduli dengan masa depan kebebasan berpikir di Indonesia.
Kita tidak bisa sekadar mengagumi kecanggihan teknologi tanpa mengkritisi siapa yang berada di baliknya, dan untuk tujuan apa data kita dikumpulkan. Sebab pada akhirnya, mempertahankan kebebasan berpikir adalah mempertahankan kemanusiaan itu sendiri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI