Mohon tunggu...
Benny Eko Supriyanto
Benny Eko Supriyanto Mohon Tunggu... Aparatur Sipil Negara (ASN)

Hobby: Menulis, Traveller, Data Analitics, Perencana Keuangan, Konsultasi Tentang Keuangan Negara, dan Quality Time With Family

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Bekerja Tanpa Burnout: Merawat Kesehatan Mental di Tengah Perbedaan Generasi

27 Mei 2025   11:00 Diperbarui: 27 Mei 2025   09:24 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Mengelola stres kerja lintas generasi demi kesehatan mental dan budaya kerja yang lebih manusiawi. (Foto:freepik.com)

"Kerja keras tak pernah mengkhianati hasil," begitu kata pepatah lama. Namun, di tengah dunia kerja yang kian cepat, serba digital, dan penuh tuntutan, pepatah itu kerap berujung pada satu konsekuensi yang tak terelakkan: burnout.

Fenomena kelelahan kerja ini kini bukan hanya milik segelintir orang. Ia sudah menjadi epidemi diam-diam di berbagai kantor, instansi, startup, hingga lembaga pemerintahan. Di balik grafik performa yang naik-turun, tumpukan dokumen digital, dan notifikasi yang tak pernah tidur, kesehatan mental karyawan seringkali menjadi korban pertama. Dan lebih kompleks lagi, di ruang kerja hari ini, ada satu tantangan besar yang ikut memperuncing situasi: perbedaan generasi.

Ketika Empat Generasi Duduk di Meja yang Sama

Tak bisa disangkal, tempat kerja hari ini adalah ruang multigenerasi. Di sana, generasi Baby Boomers (lahir 1946--1964) masih memegang banyak peran strategis. Generasi X (1965--1980) mengisi banyak posisi manajerial. Milenial (1981--1996) menjadi kekuatan utama dalam eksekusi dan inovasi, sementara Gen Z (1997 ke atas) mulai membanjiri pasar kerja dengan ide-ide segar.

Namun, kehadiran banyak generasi bukan tanpa friksi. Perbedaan cara komunikasi, gaya kerja, hingga definisi sukses kerap kali membuat koordinasi menjadi ladang gesekan.

Bayangkan seorang manajer Gen X yang terbiasa kerja hingga larut malam, mendampingi anak muda Gen Z yang memprioritaskan jam kerja fleksibel dan waktu untuk "healing". Atau sebaliknya, pegawai milenial yang ingin eksplorasi berbagai proyek, namun harus berhadapan dengan senior yang lebih menyukai stabilitas dan metode konvensional.

Ketika perbedaan ini tidak dikelola, tekanan emosional bisa menumpuk. Tidak sedikit pegawai muda yang merasa tak dimengerti, dan sebaliknya, pegawai senior merasa tersingkir. Ujungnya: burnout.

Burnout Tidak Pilih Usia

Menurut data WHO, burnout didefinisikan sebagai sindrom akibat stres kronis di tempat kerja yang belum berhasil dikelola. Gejalanya mencakup rasa lelah berkepanjangan, sinisme terhadap pekerjaan, dan penurunan efikasi kerja.

Burnout tidak mengenal jabatan atau usia. Namun, survei dari Deloitte Global (2022) menunjukkan bahwa hampir 50% milenial dan Gen Z merasa kelelahan secara mental karena pekerjaan. Sementara studi dari American Psychological Association menyebut bahwa pekerja Gen Z lebih mungkin mengalami kecemasan dan kehilangan motivasi kerja dibanding generasi sebelumnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun