Pukul 5 pagi, Dita sudah bangun. Ia menyiapkan sarapan untuk anaknya yang duduk di kelas satu SD, sambil sesekali memeriksa aplikasi pengantaran makanan di ponselnya. Setelah suaminya berangkat menjadi kurir logistik harian, giliran Dita memulai perjalanannya---menyusuri jalanan kota sebagai pengemudi ojek daring.
Mereka berdua bukan tak ingin mendampingi tumbuh kembang anaknya. Tapi di era gig economy seperti sekarang, bekerja harian tanpa kontrak tetap, tanpa gaji bulanan, dan tanpa jaminan kesejahteraan, adalah satu-satunya cara yang realistis untuk bertahan hidup.
Mereka adalah potret jutaan orang tua masa kini. Terjebak antara fleksibilitas kerja dan keterbatasan waktu untuk benar-benar hadir dalam kehidupan anak-anak mereka. Ini adalah dilema besar yang diam-diam menjangkiti banyak keluarga di Indonesia.
Fleksibilitas yang Menipu
Gig economy menjanjikan fleksibilitas waktu. Konsepnya sederhana: pekerja bebas menentukan kapan dan di mana mereka ingin bekerja. Tapi dalam praktiknya, fleksibilitas ini justru menciptakan jam kerja yang cair, tak berbatas, dan kerap kali menyusup hingga ke ruang keluarga.
Di tengah-tengah sesi belajar anak, orang tua bisa saja terganggu oleh notifikasi pesanan. Saat seharusnya waktu tidur bersama keluarga, mereka mungkin masih sibuk menyelesaikan pengiriman terakhir atau merespons ulasan pelanggan. Alhasil, kehadiran fisik orang tua tidak selalu berarti kehadiran emosional.
Anak-anak yang seharusnya mendapatkan perhatian penuh, sering kali harus berbagi ruang dengan ponsel pintar yang tak pernah berhenti berbunyi. Dan inilah ironi terbesar dari gig economy: memberikan kebebasan semu, tetapi menuntut keterikatan total terhadap sistem yang tak mengenal waktu rehat.
Pengasuhan yang Terdisrupsi
Masa kecil adalah fase emas dalam pembentukan karakter dan kepribadian. Anak-anak belajar melalui interaksi: dari cara orang tua bicara, menanggapi emosi, hingga memberikan batas dan nilai. Namun bagaimana proses pembelajaran ini berjalan jika orang tua lebih sibuk melayani algoritma daripada menghadirkan dialog?
Banyak anak kini tumbuh dalam keheningan relasi---orang tua hadir, tapi tak betul-betul terlibat. Bahkan ada yang akhirnya "dititipkan" pada gawai. Gawai menjadi pengasuh utama, pendongeng, sekaligus guru pengganti. Padahal kita tahu, teknologi tak bisa menggantikan kehangatan pelukan, nasihat lembut, atau tatapan mata penuh empati.
Ini bukan hanya soal kasih sayang, tapi soal literasi emosional dan moral yang hanya bisa ditanamkan melalui relasi yang bermakna.