"Kami dulu cuma bisa impikan jalan aspal atau  beton. Sekarang, Alhamdulillah, motor lewat tidak takut jatuh. Semua ini dari Dana Desa," cerita Pak Sjafaruddin, seorang pensiunan ASN di Kota Watampone, Provinsi Sulawesi Selatan. Suaranya bergetar, bukan karena lelah, tapi karena merasa sangat bangga: uang negara telah mengubah kampungnya.
Salah satu cerita seperti ini seharusnya tersebar di ribuan desa di Indonesia. Sayangnya, masih banyak warga yang belum menyadari bahwa jalan desa yang mereka lewati, jembatan bambu yang diganti beton, sumur bor yang kini mengalirkan air bersih, dan balai pertemuan yang berdiri kokoh --- semua itu adalah wujud nyata dari belanja negara.
Inilah kisah APBN KiTa --- anggaran pendapatan dan belanja negara milik bersama --- yang menembus batas geografis, mengurai ketimpangan, dan menyapa desa dengan membawa harapan.
APBN: Bukan Hanya Milik Pusat, Tapi Nafas Desa-desa di Pelosok Negeri
APBN seringkali dianggap sebagai urusan elite: angka-angka makro ekonomi, defisit fiskal, utang negara, dan subsidi energi. Padahal, di balik kompleksitas istilahnya, APBN bekerja untuk semua. Terutama untuk mereka yang selama ini jauh dari hiruk-pikuk ibukota: masyarakat desa.
Dalam visi pembangunan nasional, desa memegang peran penting. Lebih dari 80.000 desa di Indonesia adalah rumah bagi mayoritas penduduk negeri. Di sanalah ketahanan pangan dirancang, budaya diwariskan, dan ekonomi lokal digerakkan. Maka, menyapa desa lewat anggaran negara bukanlah pilihan, melainkan keharusan sejarah.
Dana Desa: Membangun dari Pinggiran, Mewujudkan Keadilan
Sejak bergulir pada 2015, Dana Desa telah menjadi wajah paling kasatmata dari APBN di desa. Dengan total lebih dari Rp500 triliun selama satu dekade, Dana Desa mengubah wajah-wajah desa di seluruh Indonesia.
Menurut data Kementerian Desa, sejak program ini berjalan: