Mohon tunggu...
Benito Sinaga
Benito Sinaga Mohon Tunggu... Petani, pemburu, dan peramu

Marhaenism - IKA GMNI. Memento politicam etiam artem complexam aequilibrii inter ideales et studia esse. Abangan.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Antara Audit Negara dan Abolisi Politis

1 Agustus 2025   08:00 Diperbarui: 1 Agustus 2025   18:55 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Iklan parodi Om Jin (Sumber: Meme FB)

Sebuah putusan telah diketuk, namun keadilan justru terenggut. Thomas Trikasih Lembong, mantan Menteri Perdagangan, yang divonis 4,5 tahun penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi atas keterlibatannya dalam kasus impor gula, kini akan terbebas dari jerat hukum pidana melalui abolisi—hingga Jum'at subuh artikel ini ditulis belum ada Keppres dibuat—yang diberikan Presiden Prabowo Subianto. Media-media mainstream telah melaporkan bahwa alasan resmi pemberian abolisi adalah "untuk memupuk persatuan dan dalam rangka perayaan 17 Agustus", sebuah justifikasi yang terasa abstrak di tengah kerugian negara yang nyata sebesar Rp578,1 miliar berdasarkan audit BPKP.

Kasus ini bukan sekadar persoalan hukum pidana yang berakhir dengan pengampunan politik. Lebih dari itu, dari sini kita mengungkap tiga dimensi krusial yang saling berkaitan: kelemahan mekanisme pengawasan yudisial terhadap hak prerogatif presiden, penyimpangan dari manifestasi kebangsaan sosio-demokrasi dalam tata kelola pangan strategis Nasional, dan urgensi reformasi sistemik untuk mencegah korupsi impor komoditas strategis.

Artikel ini mengembangkan analisis kritis terhadap kasus abolisi Tom Lembong, yang divonis bersalah atas korupsi impor gula dengan kerugian negara Rp578,1 miliar, dengan merumuskan tiga isu utama: pertama, bagaimana ketidaksesuaian antara putusan pengadilan, temuan audit BPKP, dan keputusan politik abolisi dapat dijustifikasi dalam kerangka hukum administrasi dan tata kelola? Kedua, apakah Keputusan Presiden (Keppres) abolisi memenuhi Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) dan dapat diuji melalui Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) untuk memastikan akuntabilitas hak prerogatif Presiden? Ketiga, bagaimana abolisi ini melemahkan supremasi hukum, pemberantasan korupsi, dan kepercayaan publik, serta bertentangan dengan manifestasi sosio-demokrasi yang menekankan peran negara dalam melindungi kepentingan rakyat melalui kebijakan pangan strategis? 

Untuk mencegah kasus serupa, artikel ini mengusulkan penguatan uji PTUN sebagai instrumen pengawasan administratif, penegakan prinsip sosial demokrasi dalam regulasi impor pangan, dan reformasi sistemik melalui pengawasan antarkementerian serta partisipasi publik guna memastikan keadilan dan mencegah korupsi di masa depan.

Ketidaksinkronan Fundamental: Antara Vonis Pengadilan dan Temuan Audit

Secara fundamental, abolisi tidak menghapus kesalahan atau perbuatan yang telah terjadi. Ini adalah sebuah tindakan hukum di mana Presiden memutuskan untuk menghentikan proses penuntutan hukum terhadap seseorang (Res Judicata). Keputusan ini beroperasi pada ranah prosedural, bukan menghapus fakta perbuatan. Negara, pada dasarnya, memilih untuk tidak menggunakan haknya menuntut, namun perbuatan yang dituduhkan—bahkan yang telah divonis di pengadilan tingkat pertama—tetap tercatat sebagai fakta yuridis.

Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta terhadap Tom Lembong menegaskan dua unsur krusial: terbuktinya penyalahgunaan wewenang dan adanya kerugian keuangan negara. Namun, vonis tersebut seolah menyiratkan bahwa kerugian negara belum "final" atau masih dalam tahap perhitungan, sebuah narasi yang berbenturan langsung dengan temuan audit BPKP yang telah mengidentifikasi kerugian riil dan terukur sebesar Rp578,1 miliar. Kerugian ini terdiri dari dua komponen: kemahalan harga impor gula sebesar Rp194,7 miliar dan kekurangan pembayaran bea masuk serta pajak impor senilai Rp383,3 miliar.

Ketidaksinkronan ini mengungkap kelemahan sistemik dalam integrasi audit keuangan negara dengan proses peradilan. BPKP, sebagai lembaga pengawas intern pemerintah, telah menjalankan fungsinya dengan menghasilkan temuan audit yang konkret dan terukur. Namun, putusan pengadilan seakan tidak sepenuhnya mengakomodasi temuan tersebut, menciptakan ruang abu-abu yang kemudian dimanfaatkan untuk justifikasi abolisi. Kondisi ini menunjukkan perlunya integrasi yang lebih kuat antara hasil audit BPKP dengan proses penegakan hukum, serta pentingnya menjadikan temuan audit sebagai dasar wajib dalam pengambilan keputusan terkait impor pangan strategis.

"...abolisi tidak menghapus kesalahan atau perbuatan yang telah terjadi. Ini adalah sebuah tindakan hukum di mana Presiden memutuskan untuk menghentikan proses penuntutan hukum"

Penyimpangan Ideologis: Dari Sosio-Demokrasi Menuju Liberalisasi Pasar

Kebijakan impor gula yang diatur melalui BUMN pada dasarnya mencerminkan ideologi sosial demokrasi, di mana negara berperan aktif sebagai regulator pasar untuk melindungi kepentingan rakyat dan menjaga kedaulatan pangan. Pada artikel sebelumnya, "Kapitalisme Predatorik: Menyoal Kedaulatan Pangan dalam Putusan Tom Lembong", penulis telah menegaskan bahwa keputusan Tom Lembong mengalihkan mandat impor dari BUMN ke sektor swasta merupakan "cerminan dari kapitalisme predatorik" yang bertentangan dengan emansipasi ideologis yang berkeadilan sosial bagi rakyat kecil.

Landasan ideologis kebijakan impor gula melalui BUMN bukan tanpa alasan. Pasal 36 UU No. 18/2012 tentang Pangan secara tegas melarang impor pangan jika produksi dalam negeri memadai, sebuah prinsip yang dilanggar dalam kasus ini. Lebih jauh, UU No. 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani mewajibkan adanya jaminan harga minimum dan akses pasar yang adil bagi petani. Dengan menunjuk BUMN sebagai pelaksana impor, negara bertindak sebagai aktor utama yang memastikan kebijakan pangan tidak semata-mata diserahkan kepada mekanisme pasar bebas, melainkan diarahkan untuk melindungi kepentingan petani tebu lokal dan menjaga stabilitas pasokan gula nasional.

Penyimpangan yang dilakukan Tom Lembong, dengan mengalihkan mandat impor kepada perusahaan swasta tanpa koordinasi antarkementerian yang memadai, tidak hanya melanggar aspek prosedural, tetapi juga menggugat fondasi filosofis kebijakan pangan nasional. Hal ini mencerminkan perpindahan dari paradigma sosial demokrasi yang menempatkan negara sebagai pelindung kepentingan publik, menuju liberalisasi pasar yang mengutamakan efisiensi ekonomi dengan mengabaikan dampak sosial terhadap petani kecil.

Optimalisasi Uji PTUN: Clemencial Review sebagai Instrumen Akuntabilitas Abolisi

Salah satu kelemahan utama dalam kasus abolisi Tom Lembong adalah kurangnya pengawasan yudisial yang efektif terhadap hak prerogatif Presiden. Padahal, penelitian oleh Guru Besar Hukum Administrasi Negara UI, Anna Erliyana, dalam Jurnal Palar (Volume 06, Nomor 01, Januari 2020, Halaman 159–186) menegaskan bahwa Keputusan Presiden (Keppres) tentang abolisi memenuhi kriteria sebagai Keputusan Tata Usaha Negara (beschikking). Dengan demikian, Keppres tersebut dapat diuji melalui mekanisme clemencial review di Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) untuk memastikan kepatuhan terhadap Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) dan mencegah penyalahgunaan wewenang.

Landasan hukum pengujian abolisi di PTUN terbangun dari beberapa instrumen peraturan perundang-undangan. Pertama, UU No. 5/1986 juncto UU No. 51/2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang mendefinisikan Keputusan TUN sebagai objek gugatan yang bersifat tertulis, individual, konkret, dan final. Kedua, tidak terdapatnya pengecualian khusus terhadap Keputusan Presiden tentang abolisi dalam Pasal 2 undang-undang tersebut, yang berarti abolisi dapat menjadi objek sengketa TUN. Ketiga, UU No. 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan memberikan alasan gugatan berupa pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan dan AUPB.

Dalam konteks abolisi Tom Lembong, terdapat beberapa potensi pelanggaran yang dapat diuji melalui PTUN. Pertama, subjektivitas alasan "persatuan bangsa" yang tidak memiliki parameter objektif dan terukur, berpotensi melanggar asas kecermatan dalam pengambilan keputusan. Kedua, pemberian abolisi untuk kasus korupsi yang merugikan keuangan negara dapat dianggap bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945 dan berbagai peraturan perundang-undangan. Ketiga, kemungkinan terjadinya detournement de pouvoir (penyalahgunaan tujuan) jika abolisi diberikan untuk melindungi kepentingan politik tertentu daripada kepentingan umum yang sesungguhnya.

Untuk mengoptimalkan fungsi PTUN sebagai instrumen akuntabilitas abolisi, diperlukan beberapa reformasi mendasar. Pertama, memperjelas standing hukum bagi masyarakat sipil, LSM antikorupsi, dan organisasi petani untuk dapat menggugat Keppres abolisi yang berimplikasi pada kepentingan publik. Kedua, mengembangkan parameter objektif untuk menguji alasan pemberian abolisi, terutama yang terkait dengan "kepentingan umum" dan "persatuan nasional". Ketiga, memperkuat kapasitas hakim PTUN dalam memahami aspek-aspek teknis audit keuangan negara dan dampak sosial-ekonomi dari keputusan abolisi.

Karikatur tanggal merah (dok. Pribadi)
Karikatur tanggal merah (dok. Pribadi)

Reformasi Sistemik: Integrasi Audit, Transparansi, dan Partisipasi Publik

Mencegah terulangnya kasus korupsi impor komoditas strategis seperti yang melibatkan Tom Lembong memerlukan pendekatan reformasi sistemik yang komprehensif. Pengalaman kasus ini mengungkap beberapa kelemahan struktural dalam tata kelola impor pangan yang perlu segera diperbaiki melalui integrasi temuan audit, penguatan transparansi, dan perluasan partisipasi publik.

Pertama, integrasi temuan audit BPKP sebagai dasar wajib dalam pengambilan keputusan impor pangan strategis. Sistem Nasional Neraca Komoditas yang dikembangkan untuk pengawasan kuota impor perlu diperkuat dengan mekanisme pelaporan publik yang real-time, sehingga masyarakat dapat mengakses informasi tentang volume impor, harga, dan dampaknya terhadap petani lokal. Hal ini sejalan dengan rekomendasi Kementerian Keuangan yang menekankan pentingnya transparansi dalam kebijakan impor untuk menjaga ketahanan pangan nasional.

Kedua, pembentukan badan independen atau komite pengawas impor pangan strategis yang melibatkan KPK, BPKP, dan perwakilan petani. Badan ini akan bertugas melakukan pengawasan preventif terhadap kebijakan impor, memastikan kepatuhan terhadap regulasi, dan memberikan rekomendasi perbaikan tata kelola. Komite ini juga dapat berfungsi sebagai early warning system yang mengidentifikasi potensi penyalahgunaan wewenang sebelum menyebabkan kerugian negara yang masif.

Ketiga, penguatan partisipasi publik melalui platform digital untuk pelaporan pelanggaran dan konsultasi publik sebelum kebijakan impor ditetapkan. Pengalaman negara-negara dengan sistem demokrasi yang matang menunjukkan bahwa keterlibatan aktif masyarakat sipil dalam pengawasan kebijakan publik dapat secara signifikan mengurangi tingkat korupsi dan meningkatkan akuntabilitas pemerintah.

Keempat, penetapan larangan abolisi untuk kasus korupsi yang menyebabkan kerugian negara di atas ambang batas tertentu, misalnya Rp500 miliar. Hal ini penting untuk menjaga efek jera (deterrent effect) dan mencegah terjadinya moral hazard di kalangan pejabat publik yang menangani impor komoditas strategis. Larangan ini dapat diatur dalam peraturan presiden atau bahkan diusulkan untuk dimasukkan dalam revisi UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Menegaskan Sosio-Demokrasi sebagai Dasar Negara dalam Kebijakan Pangan Stategis

Penyimpangan kebijakan impor gula yang dilakukan Tom Lembong mengungkap perlunya penguatan komitmen terhadap ideologi sosio-demokrasi dalam tata kelola pangan nasional. Sosio-demokrasi, dalam konteks kebijakan pangan Indonesia, menekankan peran aktif negara dalam mengendalikan pasar untuk melindungi kepentingan rakyat, khususnya petani kecil, dan menjaga kedaulatan pangan nasional.

Untuk mewujudkan prinsip sosio-demokrasi dalam kebijakan pangan, diperlukan beberapa langkah konkret. Pertama, penguatan mandat eksplisit kepada BUMN untuk menjalankan fungsi stabilisasi pasar dan perlindungan petani melalui mekanisme pembelian dengan harga yang adil. BUMN tidak hanya berperan sebagai importir, tetapi juga sebagai penjamin harga bagi produksi lokal, sehingga petani tebu memiliki kepastian pasar yang melindungi mereka dari fluktuasi harga internasional.

Kedua, pembentukan mekanisme rapat koordinasi antarkementerian yang transparan dan akuntabel dalam setiap pengambilan keputusan impor pangan strategis. Mekanisme ini harus melibatkan Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Keuangan, dan BPKP untuk memastikan bahwa setiap keputusan impor telah mempertimbangkan dampaknya terhadap petani lokal, ketersediaan pangan nasional, dan efisiensi fiskal.

Ketiga, pengembangan sistem monitoring dan evaluasi yang berbasis pada indikator kesejahteraan petani dan kedaulatan pangan, bukan semata-mata efisiensi ekonomi. Sistem ini akan memantau dampak kebijakan impor terhadap tingkat pendapatan petani, luas lahan yang ditanami, dan tingkat ketergantungan terhadap impor. Dengan demikian, pemerintah dapat melakukan koreksi kebijakan secara proaktif sebelum terjadi kerugian yang lebih besar.

Implikasi Abolisi terhadap Supremasi Hukum dan Kepercayaan Publik

Pemberian abolisi dalam kasus Tom Lembong menciptakan tiga implikasi destruktif yang mengancam fondasi negara hukum. Pertama, terciptanya dualisme kedaulatan antara putusan pengadilan yang menegaskan kesalahan dan keputusan politik yang mengampuninya. Kondisi ini mengaburkan batas antara kekuasaan yudikatif dan eksekutif, serta dapat menciptakan preseden berbahaya di mana putusan pengadilan dapat dinegasikan melalui intervensi politik.

Kedua, munculnya moral hazard yang akut di kalangan pejabat publik, khususnya yang menangani kebijakan impor komoditas strategis. Jika pejabat mengetahui bahwa selalu ada "pintu darurat elit" bernama abolisi, maka efek jera dari penegakan hukum akan melemah secara signifikan. Hal ini dapat mendorong perilaku koruptif karena risiko hukuman yang seharusnya menjadi pencegah (deterrent) menjadi tidak relevan.

Ketiga, erosi kepercayaan publik terhadap sistem hukum dan prinsip equality before the law. Masyarakat dapat mempertanyakan konsistensi penegakan hukum ketika pejabat tinggi mendapat perlakuan khusus melalui abolisi, sementara warga biasa harus menjalani hukuman sesuai putusan pengadilan. 

Kondisi ini dapat merusak legitimasi pemerintah dan menurunkan partisipasi publik dalam mendukung agenda pemberantasan korupsi, apalagi masyarakat sudah terlanjur mengetahui dalam pernyataan juru bicara Kejaksaan—dalam tayangan debat TV Nasional—bahwa kasus Tom Lembong merupakan langkah awal untuk kasus-kasus lain yang serupa.

Rekomendasi Reformasi Konstitusional dan Kelembagaan

Menghadapi kompleksitas permasalahan yang tergambar dalam kasus abolisi Tom Lembong, diperlukan beberapa langkah reformasi yang bersifat konstitusional dan kelembagaan. Pertama, penyusunan peraturan presiden yang mengatur secara rinci syarat, mekanisme, dan batasan pemberian abolisi, terutama untuk kasus-kasus yang melibatkan kerugian keuangan negara. Peraturan ini harus mencakup parameter objektif untuk "kepentingan umum" dan "persatuan nasional" yang selama ini bersifat subjektif dan mudah dimanipulasi.

Kedua, penguatan mekanisme judicial review administratif terhadap Keppres abolisi melalui PTUN dengan memperjelas prosedur gugatan, memperluas standing hukum, dan meningkatkan kapasitas hakim dalam memahami aspek-aspek teknis audit keuangan negara. PTUN harus dapat berfungsi sebagai check and balance yang efektif terhadap penggunaan hak prerogatif presiden, tanpa mengurangi esensi kewenangan konstitusional yang dimiliki presiden.

Ketiga, pembentukan sistem transparansi dan akuntabilitas dalam pemberian abolisi melalui kewajiban publikasi alasan pemberian abolisi, konsultasi dengan lembaga-lembaga terkait seperti KPK dan BPKP, serta mekanisme pelaporan kepada publik tentang dampak abolisi terhadap pemberantasan korupsi. Transparansi ini penting untuk menjaga kepercayaan publik dan memastikan bahwa abolisi benar-benar diberikan untuk kepentingan umum, bukan kepentingan politik jangka pendek.

Keempat, integrasi perspektif sosio-demokrasi dalam penyusunan kebijakan pangan strategis melalui penguatan peran BUMN, peningkatan partisipasi petani dalam pengambilan keputusan, dan pengembangan mekanisme perlindungan sosial bagi petani kecil. Hal ini sejalan dengan amanat konstitusi yang menempatkan kesejahteraan rakyat sebagai tujuan utama penyelenggaraan negara.

Melampaui Abolisi: Membangun Tata Kelola yang Berkeadilan 

Kasus abolisi Tom Lembong bukan sekadar episode kontroversial dalam dinamika politik hukum Indonesia, melainkan cermin dari tantangan struktural yang dihadapi bangsa ini dalam mewujudkan tata kelola yang berkeadilan. Ketegangan antara audit negara yang objektif dan ampunan politik yang subjektif mengungkap perlunya reformasi mendasar dalam sistem pengawasan kekuasaan eksekutif, penguatan ideologi sosio-demokrasi dalam kebijakan pangan (konsolidasi Nasional yang tidak mengenal tawar-menawar), dan pembangunan mekanisme pencegahan korupsi yang berbasis partisipasi publik.

Optimalisasi uji PTUN melalui clemencial review dapat menjadi instrumen penting untuk memastikan akuntabilitas dalam penggunaan hak prerogatif presiden. Namun, reformasi ini harus diiringi dengan penguatan kapasitas kelembagaan dan penjernihan parameter objektif untuk pengujian keputusan abolisi. Tanpa hal ini, PTUN hanya akan menjadi ritual formal yang tidak mampu memberikan perlindungan substantif terhadap supremasi hukum.

Penegakan konsolidasi Nasional dalam kebijakan pangan memerlukan komitmen politik yang kuat untuk menempatkan kepentingan petani kecil dan kedaulatan pangan sebagai prioritas utama. Hal ini tidak dapat diwujudkan melalui retorika semata, melainkan membutuhkan transformasi struktural dalam tata kelola impor komoditas strategis, penguatan peran BUMN sebagai stabilisator pasar, dan pembangunan sistem perlindungan sosial yang komprehensif bagi petani.

Pencegahan korupsi melalui reformasi sistemik dan partisipasi publik mensyaratkan integrasi temuan audit sebagai dasar pengambilan keputusan, transparansi informasi yang dapat diakses publik, dan pembentukan badan pengawas independen yang melibatkan multipihak. Reformasi ini tidak hanya akan mencegah terulangnya kasus seperti Tom Lembong, tetapi juga membangun fondasi tata kelola yang lebih akuntabel dan responsif terhadap kepentingan rakyat.

Pada akhirnya, keadilan seyogyanya tidak dinegosiasikan dengan kepentingan politik sesaat. Supremasi hukum dan kedaulatan pangan merupakan dua pilar fundamental yang harus dijaga untuk memastikan bahwa Indonesia dapat mewujudkan cita-cita sosial demokrasi sebagaimana diamanatkan sebagai dasar Negara (Pancasila). Kasus Tom Lembong harus menjadi momentum pembelajaran untuk membangun sistem yang lebih kuat, bukan preseden yang melemahkan fondasi negara hukum yang telah dibangun dengan susah payah.

Dan akhirnya Tom Lembong pun belajar apa artinya intervensi negara.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun