Tidak ada yang menjawab. Tidak perlu.
Dunia membaca ancaman itu dalam diam yang lebih tua dari protokol manapun.
*****☆*****
Pagi berikutnya di Istanbul, kamar hotel mereka terletak di lantai empat sebuah bangunan art deco yang setengah terlupakan oleh industri pariwisata dan terlalu diam untuk menarik perhatian intelijen lokal. Bukan hotel rekanan CIA, bukan pula tempat wisatawan menginap. Hanya nama tua dan resepsionis yang tak banyak tanya.
Setelah malam yang panjang di bawah tanah, Lena meminta waktu untuk “melihat langit.” Ethan tak bertanya lebih jauh. Ia tahu saat seperti itu bukan untuk penjelasan, tapi untuk pernapasan.
Kini ia duduk membisu di tepi meja kayu lapuk, mengamati amplop kosong yang terbaring seperti kulit ular yang ditinggalkan—tak lagi punya fungsi, tapi menjadi bukti bahwa sesuatu telah berganti wujud.
Lena berdiri di balkon, menatap camar-camar yang memutar di atas selat Bosphorus. Udara pagi membawa jejak dingin garam dan sesuatu yang lebih tipis dari kesedihan—kesadaran samar bahwa dunia tak sedang diam, hanya sedang menahan napas.
Langkah selanjutnya masih buram—seperti bayang-bayang yang belum berani mengambil bentuk.
Namun satu hal telah menampakkan dirinya, setegas detak pertama dari jantung kebenaran:
Zohreh telah mulai berbicara.