Baca bagian sebelumnya: Raven Putih di Ambang Perang (Bab I, Bagian V)
Bab I: Dentingan Emas di Dasar Zohreh
Bagian VI
Malam Istanbul turun perlahan, menyisakan langit berlapis debu jingga dan bayangan yang menebal di antara lorong tua.
Aroma kayu manis, kapulaga, dan cengkeh merambat pelan dari celah bangunan, seperti sisa doa yang belum selesai dirapalkan. Di tengah lorong batu yang memantulkan cahaya lampu gas kuning keemasan, berdirilah Baharatci Kadim—toko rempah tua yang tak pernah benar-benar menutup rolling door-nya, bahkan ketika Kemal Ataturk sendiri masih menatap masa depan dari balkon-balkon Republik yang belum selesai dibangun.
Toko itu diam-diam bertahan, tak menyerah pada waktu, seperti sisa napas modernisme yang menyamar dalam aroma Timur. Letaknya menempel pada lereng bukit tua yang mengamati Kapalicarsi dari kejauhan—bukan pusat keramaian, tapi bukan pula bayang-bayang. Tempat itu seperti nota kaki dari sejarah yang tak pernah dibacakan, hanya ditemukan oleh mereka yang mencium lebih dalam dari sekadar permukaan.
Di balik rak berdebu berisi lada hitam dan bunga lawang, tersembunyi mekanisme yang tak bisa diakses dengan kunci. Ethan menyentuh bagian bawah rak, lalu meletakkan jarinya pada sensor kecil di balik panel kayu tua. Dinding berderak pelan—seperti suara fondasi tua yang menyingkap rahasia lama.
Lorong menurun terbuka. Tidak hangat. Tidak ramah. Tapi jelas dibangun dengan akal, bukan emosi. Seperti Republik. Seperti Ataturk. Di sudut belakang, di balik lemari besi tua, tersembunyi pintu evakuasi darurat—terhubung ke lorong sempit menuju sistem drainase kota yang tak lagi dipakai. Jalur itu tak nyaman, tak menyenangkan, tapi bisa menyelamatkan nyawa jika safehouse ini dikompromikan.
Sore tadi, Farid Halawi hanya menyerahkan sebuah surat. Amplopnya terasa biasa saja, kertasnya sedikit kasar—begitu non-descript. Tapi, kilasan samar dari ingatan lama berkelebat di benak Lena: Elias, selalu, selalu meninggalkan jejak tersembunyi. Bukan pada data, tapi pada detail yang paling remeh.
Ia mengangkat amplop itu ke arah lampu panel LED tersembunyi, seolah bayangan Ethan yang jatuh di sampingnya memicu sesuatu. “Elias punya kebiasaan aneh,” gumam Lena, lebih pada dirinya sendiri daripada Ethan. “Selalu meninggalkan... sidik jari non-fisik.”
Dengan intuisi yang terasah oleh tahun-tahun kebersamaan, ia memindai ulang amplopnya dengan pemindai ultraviolet. Dan benar saja. Di lapisan dalam, tersembunyi QR polikromatik yang mengarahkan ke sebuah file terenkripsi.
Folder itu bernama: Z-TriggerPrototype_0601.
Tapi yang mereka buka bukan skema senjata.
Melainkan sebuah surat digital:
“Kalian pikir kalian mencari bahan peledak. Tapi yang kalian kejar adalah struktur makna. Zohreh bukan proyek senjata. Ia adalah bahasa baru. Bahasa tentang siapa yang berhak bicara. Siapa yang cukup ditakuti untuk tak dibantah.”
—E
“Ini bukan hanya skema teknis,” gumam Lena. “Ini manifest—sebuah anti-konstitusi geopolitik.”
Ethan menatap layar sejenak. “Anti-konstitusi geopolitik(?)” Ia mengulang kata-kata itu, bukan untuk membantah, tapi mencoba memahami bagaimana sesuatu bisa lebih berbahaya sebagai gagasan daripada sebagai bom.
“Ia tak membuat bom. Ia membuat dunia membayangkan bahwa bom itu ada. Dan dalam bayangan itu, semua negara mulai menyesuaikan langkah mereka.”
Lena menambahkan, “Dan kita... sudah masuk ke medan yang tidak punya koordinat.”
*****☆*****
Di Wina, malam menebal seperti debu lembut yang gagal dibersihkan dari tirai sejarah. Di kamar apartemennya yang terlalu senyap untuk seorang yang pernah berdiri di mimbar PBB, Gracia Sharma duduk membisu.
Pintu rapat. Tablet mati. Tapi pikirannya bergerak—tak serapi data, tak setenang protokol.
Ia masih mengenang sidang tadi. Penolakan yang dibalut senyum protokol. Pembungkaman yang diabsahkan lewat prosedur. Dan di tengah semua itu, ia menyadari bahwa ia tak lagi cukup hanya menjadi ilmuwan, tapi juga belum siap menjadi pejuang.
Tangannya bergerak perlahan menuju laptop lama—bukan perangkat kerja resminya. Ia membuka folder tersembunyi, lalu mulai menulis.
Sebuah surat rahasia. Bukan untuk siapa pun. Hanya untuk dirinya sendiri.
Bagi Gracia, menulis adalah satu-satunya cara menyimpan kebenaran yang terlalu telanjang untuk dikatakan. Di luar sistem. Di luar akal sehat diplomasi. Semacam pengakuan diam kepada sejarah, sebelum dunia memutuskannya gila atau benar.
File itu ia simpan dalam direktori yang hanya ia tahu:
RavenTrembles.docx
“Netralitas adalah kebohongan yang terlalu manis untuk ditolak.
Tapi aku telah mencicipi pahitnya kebenaran.
Dan pahit itu... tak bisa lagi kusembunyikan di balik prosedur.”
Ia diam sejenak. Lalu menambahkan satu kalimat yang dulu ia tulis di jurnal lamanya, ketika suara hati masih kalah oleh bunyi diplomasi:
“Jika kita menyembunyikan kebenaran karena takut perang,
Apakah kita bukan justru mempercepatnya?”
Ia menutup file itu tanpa mengklik Save. Sistem telah diprogram untuk menyimpannya otomatis—tanpa jejak waktu, tanpa metadata pengkhianatan.
Di luar jendela, salju pertama musim semi mulai turun—pelan, seolah takut membangunkan dunia yang pura-pura damai.
Dan Gracia tahu, tak semua perubahan datang dengan suara. Kadang ia hanya jatuh, satu serpih diam yang mengubah segalanya.
*****☆*****
Sementara itu, jauh di dalam gurun yang tak bernama—tempat waktu tidak dicatat dan koordinat tak dikenal—satu pulsa data mengendap pelan dari terminal offline menuju relay satelit ilegal.
Tidak ada suara. Tidak ada tanda.
Hanya satu simbol:
☉⟡☍
Di server-server gelap di tujuh benua, tujuh alamat IP menerima pesan yang tak memiliki kata.
Tidak ada yang menjawab. Tidak perlu.
Dunia membaca ancaman itu dalam diam yang lebih tua dari protokol manapun.
*****☆*****
Pagi berikutnya di Istanbul, kamar hotel mereka terletak di lantai empat sebuah bangunan art deco yang setengah terlupakan oleh industri pariwisata dan terlalu diam untuk menarik perhatian intelijen lokal. Bukan hotel rekanan CIA, bukan pula tempat wisatawan menginap. Hanya nama tua dan resepsionis yang tak banyak tanya.
Setelah malam yang panjang di bawah tanah, Lena meminta waktu untuk “melihat langit.” Ethan tak bertanya lebih jauh. Ia tahu saat seperti itu bukan untuk penjelasan, tapi untuk pernapasan.
Kini ia duduk membisu di tepi meja kayu lapuk, mengamati amplop kosong yang terbaring seperti kulit ular yang ditinggalkan—tak lagi punya fungsi, tapi menjadi bukti bahwa sesuatu telah berganti wujud.
Lena berdiri di balkon, menatap camar-camar yang memutar di atas selat Bosphorus. Udara pagi membawa jejak dingin garam dan sesuatu yang lebih tipis dari kesedihan—kesadaran samar bahwa dunia tak sedang diam, hanya sedang menahan napas.
Langkah selanjutnya masih buram—seperti bayang-bayang yang belum berani mengambil bentuk.
Namun satu hal telah menampakkan dirinya, setegas detak pertama dari jantung kebenaran:
Zohreh telah mulai berbicara.
Dan dalam dunia yang dibangun dari ketakutan dan interpretasi,
Detak pertama saja cukup untuk menggetarkan fondasi yang kelihatan stabil.
*****☆*****
Epilog Bab 1:
Di ruang bawah tanah Langley, terminal intel menyala dengan notifikasi diam.
ALERT: ZOHREH / WHITE RAVEN CORRELATION CONFIRMED
THREAT INDEX: SHADOW LEVEL – SPECTRAL RISK
ACTION RECOMMENDATION: ESCALATE TO TIER-3 ANALYTICS
Seseorang mengetik:
“Apakah ini awal dari senjata, atau awal dari bahasa baru?”
Tak ada jawaban.
Hanya gema.
Gaung sunyi, dari dasar sesuatu yang belum berani menyebutkan namanya sendiri.
[Bab I selesai]
(Bersambung...)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI