Baca bagian sebelumnya: Raven Putih di Ambang Perang (Bab I, Bagian III-IV)
Bab I Dentingan Emas di Dasar Zohreh
Bagian V
Istanbul, malam hari. Beyoglu bukan sekadar distrik tua di jantung Istanbul; ia adalah simfoni dari zaman yang bertabrakan dan berdamai dalam diam. Saat azan Isya mulai mengalun dari Masjid Aga Camii yang berdiri anggun di sela bangunan bergaya Eropa, suaranya bukan hanya panggilan salat, tetapi juga semacam selimut akustik yang menyelimuti hiruk pikuk kota. Langit kota itu berganti warna dari biru tua menjadi beludru keunguan, serupa permadani usang yang menyimpan kenangan Kekaisaran Ottoman dan denyut republik modern.
Langit menggantung berat, seolah mengantarkan malam dengan pelan.
Beyoglu tak menoleh; ia berjalan terus, seperti biasa.
Gang-gang kecilnya adalah labirin cahaya dan bayangan. Lampu-lampu gantung yang menari bersama angin laut dari Bosphorus bukan hanya penerangan, tapi juga ornamen hidup yang ditiup lembut, membawa serta aroma khas Istanbul: campuran kopi pekat dari kedai-kedai yang tak pernah sepi, rempah-rempah yang keluar dari dapur-dapur restoran, dan sentuhan logam tua dari bengkel-bengkel atau toko-toko antik yang tersembunyi. Di sepanjang Istiklal Caddesi yang tak pernah benar-benar sunyi, lampu-lampu butik dan kedai kopi memantulkan cahaya kekuningan di atas batu-batu paving yang masih basah oleh sisa hujan petang, berpadu dengan wangi kestane panggang dan simit dari gerobak merah.
Meskipun Isya adalah waktu istirahat bagi sebagian orang, pasar di Beyoglu justru seperti baru terbangun. Hiruk pikuknya nyaris tak tidur, dengan obrolan yang ramai, tawar-menawar yang sesekali meninggi, dan gelak tawa yang bercampur aduk. Ada energi yang terasa kuat di udara, perpaduan antara tradisi dan modernitas yang berdenyut dalam setiap langkah.
Lorong-lorong kecil yang mengular dari jalan utama—seperti Balk Pazar dan gang-gang menuju Cihangir—menyimpan kedai anggur tua, toko buku, bengkel jam antik, dan kafe berlangit-langit rendah tempat para pelukis dan pembaca puisi bercakap dalam bahasa yang tak selalu dimengerti oleh waktu.
Sesekali, angin membawa kenangan.
Atau mungkin, menciptakannya.
Di antara semua itu, aroma kopi pekat yang kuat menyeruak, mengingatkan pada ritual minum teh dan kopi yang tak terpisahkan dari budaya Turki. Aroma ini bercampur dengan bau logam tua dari barang-barang antik yang dijual, menciptakan kontras yang menarik—kehangatan yang membangkitkan semangat berhadapan dengan dinginnya masa lalu.
Toko suku cadang antik yang Ethan dan Lena masuki—tanpa etalase, tanpa tanda, tersembunyi seperti reliqui dari zaman yang enggan diperjualbelikan—bisa bersemayam di salah satu gang menuju Cukurcuma, tempat para kolektor menyimpan serpihan masa lalu: gear tua, tabung-tabung radio, pecahan jam tangan Soviet, atau miniatur kapal dari kayu Zaitun Suriah.