Mohon tunggu...
Benito Sinaga
Benito Sinaga Mohon Tunggu... Petani, pemburu, dan peramu

Marhaenism - IKA GMNI. Memento politicam etiam artem complexam aequilibrii inter ideales et studia esse. Abangan.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Raven Putih di Ambang Perang (Bab I, Bagian VI)

21 Juni 2025   20:30 Diperbarui: 21 Juni 2025   20:15 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ethan dan Lena memasuki safehouse CIA Istanbul (Sumber: ai 2025)

Baca bagian sebelumnya: Raven Putih di Ambang Perang (Bab I, Bagian V)

Bab I: Dentingan Emas di Dasar Zohreh 

Bagian VI

Malam Istanbul turun perlahan, menyisakan langit berlapis debu jingga dan bayangan yang menebal di antara lorong tua.

Aroma kayu manis, kapulaga, dan cengkeh merambat pelan dari celah bangunan, seperti sisa doa yang belum selesai dirapalkan. Di tengah lorong batu yang memantulkan cahaya lampu gas kuning keemasan, berdirilah Baharatci Kadim—toko rempah tua yang tak pernah benar-benar menutup rolling door-nya, bahkan ketika Kemal Ataturk sendiri masih menatap masa depan dari balkon-balkon Republik yang belum selesai dibangun.

Toko itu diam-diam bertahan, tak menyerah pada waktu, seperti sisa napas modernisme yang menyamar dalam aroma Timur. Letaknya menempel pada lereng bukit tua yang mengamati Kapalicarsi dari kejauhan—bukan pusat keramaian, tapi bukan pula bayang-bayang. Tempat itu seperti nota kaki dari sejarah yang tak pernah dibacakan, hanya ditemukan oleh mereka yang mencium lebih dalam dari sekadar permukaan.

Di balik rak berdebu berisi lada hitam dan bunga lawang, tersembunyi mekanisme yang tak bisa diakses dengan kunci. Ethan menyentuh bagian bawah rak, lalu meletakkan jarinya pada sensor kecil di balik panel kayu tua. Dinding berderak pelan—seperti suara fondasi tua yang menyingkap rahasia lama.

Lorong menurun terbuka. Tidak hangat. Tidak ramah. Tapi jelas dibangun dengan akal, bukan emosi. Seperti Republik. Seperti Ataturk. Di sudut belakang, di balik lemari besi tua, tersembunyi pintu evakuasi darurat—terhubung ke lorong sempit menuju sistem drainase kota yang tak lagi dipakai. Jalur itu tak nyaman, tak menyenangkan, tapi bisa menyelamatkan nyawa jika safehouse ini dikompromikan.

Sore tadi, Farid Halawi hanya menyerahkan sebuah surat. Amplopnya terasa biasa saja, kertasnya sedikit kasar—begitu non-descript. Tapi, kilasan samar dari ingatan lama berkelebat di benak Lena: Elias, selalu, selalu meninggalkan jejak tersembunyi. Bukan pada data, tapi pada detail yang paling remeh.

Ia mengangkat amplop itu ke arah lampu panel LED tersembunyi, seolah bayangan Ethan yang jatuh di sampingnya memicu sesuatu. “Elias punya kebiasaan aneh,” gumam Lena, lebih pada dirinya sendiri daripada Ethan. “Selalu meninggalkan... sidik jari non-fisik.”

Dengan intuisi yang terasah oleh tahun-tahun kebersamaan, ia memindai ulang amplopnya dengan pemindai ultraviolet. Dan benar saja. Di lapisan dalam, tersembunyi QR polikromatik yang mengarahkan ke sebuah file terenkripsi.

Folder itu bernama: Z-TriggerPrototype_0601.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun