Mungkinkah Minum Kopi di Warkop Sambil Membaca Buku?

Ternyata, ketika banyak membaca, kita akan tahu banyak hal. Yang paling keren lagi, didengarkan orang lain, bahkan dikagumi. 

Ya, meskipun saya tahu, ibu saya tak akan berani menegur ayah saya yang selalu menunjukkan kebiasaan membaca itu. Mungkin juga ia tidak suka sehingga melampiaskannya kepada anak-anaknya. Atau sebenarnya juga kagum, tapi enggan dan gengsi untuk menunjukkannya.

Bagaimana dengan Indonesia?

Dari dua pemandangan dan pemikiran tadi, saya mencoba mengaitkannya dengan masyarakat di Indonesia. Bisa jadi itu terjadi di keluarga lain. 

Berdasarkan survei yang dilakukan Program for International Student Assessment (PISA) yang dirilis Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) pada 2019, Indonesia menempati peringkat ke 62 dari 70 negara, atau merupakan 10 negara terbawah yang memiliki tingkat literasi rendah (Utami, 2021). Hasil ini mengungkapkan bahwa kelemahan pelajar Indonesia bukan pada kemampuan menggali atau mengevaluasi informasi yang dibacanya, tetapi memahaminya.

Fakta ini mengindikasikan bahwa persoalan literasi membaca perlu mendapatkan perhatian khusus dari berbagai pihak, tak hanya pemerintah. Mengapa? 

Saya meyakini betul bahwa untuk menciptakan generasi yang gemar membaca, harus diawali dari keluarga yaitu support system terkecil yang sangat bisa menginspirasi dan membentuk karakter "pecandu pembaca buku" dan "pecandu belajar". 

Hal ini yang saya alami. Meskipun ayah dan ibu saya bertentangan dalam literasi membaca, sebagai anak, saya melihat hal-hal positif dari hasil membaca seperti yang saya saksikan dari ayah saya sendiri. 

Biarpun tak dikenalkan secara langsung, magnet dari koran yang diletakkan di meja dan keseruan mendengarkan cerita ayah telah memikat pikiran saya untuk gemar membaca.

Ekosistem Literasi Membaca dan Menulis

Saya yakin, ada beberapa stigma yang perlu diubah untuk menciptakan generasi muda yang gemar membaca.